MOONLIGHT [EP.5]

MOONLIGHT

CERBUNG MOONLIGHT EPISODE 5

Ep.5



Hari demi hari terus berjalan, Lucky menikmati setiap prosesnya. Meski kadang harus membantu kakaknya mengurus beberapa usaha yang ditinggalkan Ayahnya, tapi Lucky tak mengeluh. Dia belum pernah absen dari kelasnya dia benar-benar sedang semangat belajar. 

Dia menyukai kelas pianonya, ada tiga grand piano di kelasnya yang membuatnya seakan dirumah. Dan lagi cara Miss Greeny mengajar di kelasnya itu sangat ramah dan menyenangkan.


Tapi kesibukannya tetap tak bisa mengalihkan ketertarikannya yang lain, terhadap siswi kelas sastra, Marissa Larasti, yang sedang menjadi pusat perhatian akhir-akhir ini. Dimanapun, kapanpun, saat dia mendengar dan membaca nama gadis itu, melihat foto atau bertemu dengan Laras, Hatinya bergetar.


Lucky memasuki kelasnya dan melihat cukup banyak orang berkumpul di depan mejanya. Entah kenapa, kelas yang menurutnya terlalu luas untuk murid dengan jumlah yang tidak lebih dari 15 orang kini menjadi terlihat cukup penuh. Banyak murid yang tidak berasal dari kelas yang sama dengannya.

"Ada apa?" tanyanya dikerumunan. Murid-murid itu menoleh dengan tatapan aneh.

"Kau mendapat undangan" Ucap Aldy, dia menunjuk meja belajar Lucky. Sebuah amplop berwarna merah hati berada di atas mejanya.

Lucky mengerenyit, begitu banyak murid hanya untuk melihat sebuah amplop, "Kalian menonton surat cinta?" tanya Lucky heran. Dia meletakan tas nya, dan mengalihkan pandanganya pada orang-orang disekitarnya. Mungkin surat dinilai begitu kuno, hingga mereka melihat surat seolah melihat barang antik.

"Itu bukan surat cinta" Jawab seorang gadis yang biasanya hanya diam dikelas. Tak berbicara selain ditanya dan bertanya pada Miss Greeny. Dan Lucky takjub, karena dia sekarang mau berbicara karena sebuah surat.

"Bodoh, itu bukan surat cinta!" Sambung Aldy menepuk pundaknya, membuat Lucky semakin mengerenyit. "Cepat buka!" Pinta Aldy, saat Lucky hanya diam dan seakan bingung.

Lucky menurut, dia sama sekali tak tahu isi surat itu. Tapi bell tanda kelas dimulai telah berbunyi membuat murid-murid bubar dengan menggerutu. Lucky duduk di mejanya, surat itu masih ia pegang. Begitu kerumunan itu bubar, kelasnya terasa luas kembali. 

 Miss Greeny masuk, wanita berusia lebih dari 35 tahun itu mengikat rambut pirangnya berantakan. Dia mengenakan Flannel shirt berwarna biru pucat dengan jeans yang senada. Membuat Miss Greeny terlihat jauh lebih muda di bandingkan dengan usia sebenarnya.

Dia meletakan beberapa buku di mejanya, dia terlihat berseri-seri bahkan meski sudah mengucapkan salam selamat paginya. 

"Jadi siapa yang mendapatkan amplop tahun ini?" Tanyanya riang. Sekelas diam, lalu Lucky mengangat tanganya dengan sedikit ragu-ragu.

Miss Greeny tampak sedikit tidak percaya, dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, "Lucky, kau mendapat amplop itu?"

"Ya, miss" Dia memegang amplop itu ditanganya. 

Miss Greeny langsung mendatanginya, menyalaminya dan mengucapkan selamat. Orang sekelas menontonnya. 

"Ini amplop apa ya miss?" Tanya Lucky polos, membuat kelas memiliki desahan kecewa dan tawa tersendiri mendengar kalimat Lucky. Sementara Aldy yang duduk dibelakangnya menepuk dahinya.

"Itu sebuah undangan dear," ucap Miss Greeny, tapi Lucky juga tahu itu, karena Aldy telah mengatakannya, "Undangan untuk mengikuti audisi festival tahunan" lanjutnya

Dan Lucky kaget, dia tak pernah mendengar itu sebelumnya.

"Kamu pasti tidak mengerti, kamu bahkan belum satu bulan  belajar disini" Ucap Miss Greeny lembut, "Dengan undangan itu, kamu bisa mengikuti  audisi tanpa pendaftaran. Dan biasanya orang-orang yang mendapat undangan itu akan menjadi orang pertama yang mengikuti audisi karena undangan itu juga memberikan nomor urut" jelasnya.

Dan jelas juga bagi Lucky kenapa orang-orang tadi berkumpul dikelasnya.

"Bukalah," pinta Miss Greeny. Lucky membukanya, dan semua mata tertuju padanya.

Lucky membaca surat itu begitu amplopnya terbuka, Aldy dibelakangnya sudah siap mengintip. Lucky tak membaca semuanya, hanya keterangan dan nomor urutnya. Ada cap milik Artland dan tanda tangan penyelenggara diakhir surat itu.

"Nomor lima," Ucap Lucky. Dia terdengar sedang bertanya sekarang. Dan Miss Greeny kembali tersenyum, Aldy dibelakangnya tampak antusias.

"Kau beruntung masuk lima besar orang-orang terpilih," Ucap Miss Greeny. Dia melangkah kembali ke depan kelas, kembali ke posisinya.

"Setiap tahun, setiap jurusan, Artland menyebar lima tiket gratis untuk mengikuti audisi. Mendapatkan tiket itu berarti telah menjadi peserta kehormatan yang secara tidak langsung mencerminkan keinginan Artland untuk merekrut kalian agar bisa tampil di malam puncak" Jelas Miss Greeny di depan kelas.

Lucky mengerti sekarang, tapi menurutnya, menginginkannya saat dia begitu baru itu aneh. "Tapi saya bahkan belum sebulan disini"

Miss Greeny tampak mengerti dengan keluhan Lucky, hal ini benar-benar tak terduga untuk Lucky.

"Dewan penyelenggara tidak sembarangan menyebar tiket. Mereka akan menggunakan tabel nilai dan kemapuan kalian untuk menjadi sarana penilaian mereka" Miss greeny mengambil jeda dan menatap Lucky, "Kamu memang baru disini, tapi nilai dan kempuanmu berkembang sangat cepat. Dewan penyelenggara pasti memperhitungkan kemampuanmu karena begitu cepat menguasai pelajaran"

Penjelasan Miss Greeny membuatnya tak ingin bicara apa-apa lagi. Entah mengapa sebutan Dewan Penyelenggara terdengar begitu megah dan profesional. Lucky hanya diam melihat kembali suratnya. Hanya ada cap Artland dan tanda tangan pimpinan dewan penyelenggara bernama Satriaji, tanpa tanda tangan ketua yayasan atau sebagainya.

Begitu kelas bubar, Lucky menghampiri Miss Greeny.

"Maaf miss, soal ini" Lucky menunjukan surat ditangannya. Miss Greeny yang baru saja akan undur diri mengangguk dan duduk kembali dikursinya, "katakanlah," pintanya.

"Aku sama sekali tidak tertarik mengikuti audisi ini" tapi Miss Greeny justru menautkan alis mendengar kalimat Lucky, "Tidak ada yang tidak menginginkannya sayang, kau mungkin hanya sedikit terkejut"

Lucky menggeleng pasti, "Tidak, aku benar-benar tidak, uh," Lucky meralat kalimatanya "Aku belum tertarik" jelasnya. 

"Aku suka belajar disini, menyukai fasilitasnya, cara belajarnya, tapi masih terlalu dini untuk ku menginginkan audisi. Aku masih sangat menikmati pelajaranku"

Miss Greeny tampak berfikir,"Setidaknya, pikirkanlah hingga kau berkumpul dengan para perserta undangan lainnya sore ini di ruang latihan" Miss Greeny menatap Lucky dengan seksama, "Kau tahu, Lucky, kamu memiliki kemampuan. Kamu adalah murid baru yang menjadi paling cepat dalam memahami materi di kelas piano ini, dan undangan itu bukan sembarang undangan”

 “Dengan namamu yang tertulis di surat itu, itu menandakan jika Artland menginginkanmu. Dan bukan hanya presentase keberhasilan melewati audisi dan bermain dimalam puncak, kesempatan mu untuk menjadi pianis handal pun semakin dekat"

Lucky menyimak setiap kalimat Miss Greeny dan mengerti ke khawatiran beliau. Karena apa yang dikatakannya memang benar. Tapi ketidak-tarikannya terhadap audisi ini juga benar. Dia menyukai pelajarannya, tapi Ia sama sekali belum siap mengikuti audisi. Ini masih terlalu dini untuknya.

"Kau tidak perlu merasa terpaksa, karena permainan piano mu pun akan berubah jika kau terpaksa. Kau boleh tidak mengikuti audisi itu. Tapi setidaknya, pikirkanlah hingga sore ini, Oke?" Ucap Miss Greeny pada akhirnya, karena melihat Lucky begitu bingung. "Kau akan ke ruang latihan sore ini, dan berkumpul dengan para peserta undangan lainnya" Miss Greeny kembali mengingatkan Lucky. Lucky mengangguk sebelum pamit dari kelasnya.

"Baik, saya akan datang. Dan terimakasih atas waktu dan sarannya" Lucky menganggukan kepala sekali lagi, dan Miss Greeny membalasnya dengan senyuman. Kemudian Lucky berlalu, entah kenapa dia merasa tidak enak dengan tiket yang ia terima.


Lucky dikagetkan oleh Aldy yang menunggunya diluar kelas. Pria itu langsung merangkul pundaknya dan menyemburnya dengan berbagai kalimat, "Kamu bodoh ya? Menolak undangan itu"

Lucky yang tahu Aldy akan mengatakan itu, dia hanya tersenyum. Dia lanjut berjalan dengan Aldy yang masih mengoceh banyak hal. Sementara entah kenapa Lucky merasa aneh, banyak murid perempuan yang kini melihatnya sepanjang jalan. Tidak, lebih tepatnya menontonnya.

Dan persis saat Ia akan keluar gedung musik, tiga orang gadis menghampirinya. Salah satu diantara mereka membawa katong plastik berisi tiga kaleng cola.

"Kakak, terima ini" Ucap gadis itu malu-malu, menyodorkan plastik itu kepada Lucky. Lucky tersenyum, bingung, tapi menerimanya. "Selamat ya, telah menjadi peserta terpilih" Ucap Gadis yang lain. "Semangat untuk latihan dan audisinya ya ka".

Lucky menahan tawanya, karena ketiga gadis itu seolah telah belajar mengucapkan kalimatnya, dan mendapat bagian dialognya masing-masing. Aldy yang disampingnya, menyikut lengan Lucky agar dia mengatakan sesuatu.

"Terimakasih atas dukungannya" Ucap Lucky, dia melihat kantong plastik di tangannya" Juga untuk cola nya" imbuhnya.

Gadis-gadis itu tersenyum malu, dan pergi dari hadapan Lucky.

Aldy di sampingnya menggelengkan kepalanya. "Seumur-umur aku gak pernah dapet begituan"

Lucky tertawa mendengarnya, dia mengacungkan plastik itu " Kau mau?"

"Kau sedang menghinaku ya? Aku tersinggung." Aldy melipat tangannya ke dada "Aku pasti akan mendapatkan hadiahku sendiri" Lanjutnya. 

Lucky kembali tertawa, "Ini hadiah dari peserta terpilih" bujuknya. Aldi tertawa mendengar kalimat Lucky, "Aku terima!". Aldy merebut plastik itu dan mengambil sakaleng Cola.

Lucky mengambil kembali kantong plastik yang disodorkan Aldy. Saat matanya tidak berpaling melihat Laras berjalan melewati gedung fakultasnya. Rambutnya dikuncir tinggi, kaos putihnya kebesaran, jeans nya pudar, hanya Converse merah dikakinya yang terlihat baru. Tapi Laras tetap tampak menarik, sangat menarik. Tanpa sadar, Ia menyebutkan nama gadis itu.

"Laras..."

Kalimatnya menggantung di udara seperti saat pertama mereka bertemu. Aldi tersedak mendengar Lucky memanggil Laras begitu jelas. Dan Laras berhenti, menoleh kepadanya.

Dan Lucky sadar apa yang telah dikatakannya, dia mulai gemetar. Lucky menundukkan wajahnya yang kini sudah merah. Lucky berharap Laras mengira dirinya salah dengar. Bukan hanya Lucky, Aldy pun berharap demikian.

Tapi mereka berdua benar-benar sial, karena kini Laras justru menghampiri mereka.

"Hai, kita berjumpa lagi" Ucap Laras riang begitu Ia sampai di hadapan Lucky. Lucky tampak ternyum salah tingkah tidak berbeda dengan Aldy.

"Kamu mau kemana?" Ucap Lucky basa basi.

"Kantin" Jawab Laras, dan Lucky merasa begitu bodoh. Menurutmu kemana lagi Laras akan pergi?

"Hei, bukankah itu amplop spesial?"

Mata Laras tertuju pada amplop merah hati yang dipegang Lucky bersama Plastik cola. 

"Iya!. Lucky terpilih menjadi peserta undangan!" Jawab Aldi semangat. Dia merasa berjasa, karena membuat kesan hebat di depan Laras.

"Wow!" Laras terkejut, "Selamat yaa, aku tidak menyangka kau benar-benar berbakat dengan musik" Ucap Laras tulus.


"Iya dia memang sangat berbakat. Dia seperti lahir untuk musik" Imbuh Aldy lagi, Laras tampak terkesan, sementara Lucky mulai kesal.

"Kau mau cola?" Tanya Lucky pada akhirnya. Dia tidak ingin Aldy menjebak Laras dalam obrolan yang memalukan untuknya.

"Oh?. tentu" Lucky membuka plastik yang Ia bawa dan menyodorkannya pada Laras. "Apa ini sebuah perayaan?" Tanya gadis itu, sementara Lucky tersenyum.

"Bukan, itu dari penggemarnya. Lucky barusan mendapat ucapan selamat dari beberapa gadis" Aldy lagi-lagi menyerobot, hingga Lucky menyikutnya.

"Tak apa, punya penggemar itu bagus" Jawab Laras seolah tahu apa yang akan ada dipikiran Lucky. Lucky hanya bisa tersenyum. Laras membuka cola dan meminumnya.

"Kau ke kantin sendiri?" tanya Lucky memulai obrolan.

"Ya dan Tidak" Jawab Laras, dan Lucky menunjukan tanda tanya diwajahnya "Iya aku ke kantin sendiri untuk wawancara, dan Tidak sendiri, karena teman-temanku ada di bagian lain kantin itu" Laras tampak menyesal.

"Kau akan wawancara untuk kemenangan mu?" Tanya Aldy yang lagi-lagi menyerobot. Lucky menggaruk dahinya. Laras mengangguk dan menjawab "Iya" .

"Bukankah Randi juga seharusnya ikut dengan mu?"

"Dia bilang, dia akan menyusul" Jawab Laras ragu, dia mengangkat pundaknya.

"Ya, dia harus menyusul. Karena pesan dan kesan yang akan kau katakan saat wawancara akan sangat berpengaruh" Sahut Aldy lagi, dia meneguk kembali cola nya.

"Kau pasti sering diwawancara ya?" tanya Laras polos, Aldy kembali tersedak, dan Lucky menertawakannya. "Kau mungkin sama dengan teman-temanku yang biasa di wawancara. Sementara aku, ini pertama kalinya. Aku benar-benar memalukan ya?. Aku sendiri tidak yakin apa yang sudah aku lakukan selama tiga tahun disini" Laras begitu jujur. Dan Aldy merasa semakin tertohok.

"Kalau begitu," ada jeda cukup lama karena Aldy tak tahu apa yang akan dikatakannya, "Semangat!!" Ucap Aldy pada akhirnya.

Dan Laras berterimakasih, sementara Lucky masih kembali tertawa.

"Kalau begitu aku pergi dulu ya, Terimakasih cola nya" Laras menatap lembut Lucky sebelum dia pergi, membuat Lucky lumpuh. Tak bisa menjawab apapun selain mengangguk dan tersenyum.

Senyum Lucky belum hilang, bahkan meski Laras telah berlalu.

"Kau gila ya? Berani memanggilnya?" Aldy memukul pundaknya. Sementara Lucky mengaduh tapi hanya bisa tertawa sesudahnya. Hatinya masih hangat, bahkan meski Laras sudah tak terlihat lagi.

🌙

Laras menyelesaikan sesi wawancaranya sendiri, tanpa Randi. Tapi Laras tak mempermasalahkan hal itu, dia sama sekali tak keberatan. Dia menyelesaikan sesi tanya jawab dengan Malika seorang diri.

Dia kini melihat Malika lebih jelas dan berbicara cukup banyak, meski kebanyakan hanya dia yang bicara. Sementara Malika hanya menjawab seperlunya.

"Kau dibayar untuk melakukan ini?"

Tanya Laras di akhir sesi mereka, dan Malika mengangguk.

"Dengan bayaran profesional atau apa?" Laras menanyakan dengan sistem apa Artland membayar Malika untuk menjadi penulis bagi majalah mereka. Sekedar uang lelah atau mereka dibayar sebagai penulis profesional.

"Aku dibayar sebegai penulis oleh Artland" Jawabnya pelan. Tapi kini dia tidak terlalu takut lagi dengan Laras. Karena sejauh ini Laras memperlakukannya dengan cukup baik.

"Bagaimana bisa kau menjadi penulis untuk Artland, apa kau direkrut atau bagaimana?" Laras hanya penasaran, dia sama sekali tak berniat untuk mengintrogasi.

Malika tampak ragu, tapi akhirnya ia menjawabnya "Aku mendaftar. Ini benar-benar seperti pekerjaan. Dengan bayaran yang lumayan untuk membayar buku buku pelajaranku" Jawab Malika perlahan sambil merapikan berkasnya. 

Dia sebenarnya malu karena harus mewawancari Laras dengan menggunakan Laptop tua, tidak bermerk, murah, yang sering hang dan hanya bisa digunakan untuk mengetik. Tapi hanya ini yang ia punya. Laras memang menaruh perhatian lebih pada Laptop yang dibawa oleh Malika.

Laras tampak berfikir mendengar jawaban Malika. Meski terdaftar sebagai murid beasiswa, di Artland mereka harus membayar perlengkapan mereka sendiri, dan biaya itu masih cukup mahal.

 "Jika bayaran menulismu hanya cukup untuk membeli buku pelajaran, bagaimana dengan cara mu memenuhi kebutuhan sehari-hari?"

Laras memang bekerja paruh waktu tapi Ia sama sekali tak pernah merasa kekurangan karena Kakak dan Kakeknya selalu membayar tagihan kuliahnya dan mengirimkan uang untuknya yang lebih dari cukup, dan Rizal tidak pernah memberi bayaran yang sedikit untuk apa yang Ia kerjakan.

"Aku bekerja di sebuah toko kelontong setiap malam" Jawab Malika jujur. Sepertinya sudah tak mungkin menyembunyikan apapun sekarang. 

Fakta jika gadis populer yang tak banyak bicara seperti Laras saja sudah tahu segalanya, bagaimana dengan mereka yang suka menghinanya. Yang pasti akan lebih tertarik dengan hidupnya yang menyedihkan dan mencari tahu. Dan mengolok-oloknya kapanpun mereka mau.

Laras sontak membuka lebar matanya karema terkejut, "Kau masih bekerja lagi?" 

Malika mengangguk dan perasaanya campur aduk, kenapa hal-hal memalukan harus ditanya dua kali. Apakah hidupnya terlalu menderita bagi mereka? hingga mereka tak percaya. 

Kalau begitu mereka pasti tak pernah orang-orang yang lebih menderita lagi. Malika hanyut dalam pikirannya sendiri, dan terus membayangkan bagaimana mudahnya kehidupan mereka.

"Aku harus bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhanku yang lain, tapi untungnya aku bisa tinggal di toko itu hingga aku tak perlu membayar uang sewa"

 Malika sudah jujur, sejujur-jujurnya pada Laras. Ia tak ingin membuat Laras kasihan padanya dan menerima belas kasihannya. Ia hanya ingin bercerita, Ia butuh  bercerita pada seseorang agar ia merasa sedikit lebih lega, meski bebannya sangat banyak. Dan entah mengapa, Ia percaya pada Laras.

Laras diam. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi kantin dan meneguk air mineral. Dia belum memesan makan siang, karena ingin menyelesaikan sesi ini dan tetap bisa bergabung untuk makan siang dengan teman-temannya.

 Semua sesuai dengan rencana Laras, sesi ini berakhir dengan cepat dan Malika juga melakukannya dengan baik. Dia sudah membawa daftar pertanyaan yang akan dia tanyakan, dan itu menghemat waktu. 

Meski kadang Laras juga harus menjawab pertanyaan milik Randi juga. Malika telah mengatakan jika tak apa-apa untuk tidak mengisi jawaban milik Randi, tapi Laras bersikeras.

Tapi entah kenapa dia sama sekali tak ingin makan sekarang, bagaimana bisa ia merasa lebih hidup dengan berpura-pura menderita. Melakukan ini itu agar memiliki kesibukan, sementara gadis di depannya benar-benar terlihat menyedihkan. Kulit dan rambut kusam, badan kurus, mata dan aura tubuh yang lelah, dan peralatan seadaanya. Ya Malika bertahan hidup seadanya.

"Kau tahu biaya kuliah disini memang cukup mahal, akupun mengakui hal itu. Bahkan meski kau tidak harus membayar biaya bulanan, kau harus membeli perlengkapan mu sendiri, dan itu juga masih mahal" Laras kembali duduk dengan tegak dan meletakan botol air mineralnya di atas meja. Meja yang tadi berisi berkas-berkas milik Malika kini bersih.

"Aku tahu gaji untuk pekerja paruh waktu, karena aku melakukannya, dan meski aku tak menghitungnya, gaji itu jelas masih kurang untuk menutupi kebutuhan harian dan kuliahmu" Laras melanjutkan, dia tidak mengatakan bahwa faktanya Rizal tak pernah membayarnya dengan gaji seorang pekerja paruh waktu.

Malika tampak mengangguk dan tak menyangkal apa yang dikatakan Laras, meski Ia ingin sekali bertanya untuk apa ia kerja paruh waktu?. Malika memang tak mengenal Laras secara dekat, tapi dari apa yang dikatakan oleh banyak orang, dan dari apa yang ia lihat sendiri jika Laras berteman dengan anak-anak kaya dan populer dan memakai barang-barang bermerk, semua itu menjelaskan jika Laras bukan gadis miskin sepertinya.

"Lalu kenapa kau nekat kuliah disini? ada banyak kampus yang mungkin akan sesuai dengan kemampuanmu" Laras malah merasa tidak enak dengan kalimatnya sendiri, "Tidak, aku tidak bermaksud untuk menghina mu, hanya saja, kau pasti bisa bernafas lebih lega jika kuliah di tempat lain" Laras membenarkan kalimatnya.

Dan Malika mengerti, di kampus lain ia setidaknya bisa makan makanan sehat tiga kali sehari. Dan memiliki tas atau baju yang lebih baru dengan kerja kerasnya. 

"Aku tahu, memilih kuliah disini mungkin terdengar nekat dengan keadaanku. Bahkan orangtua ku mengatakan hal itu setiap kali aku menelpon mereka”

“Tapi aku hanya ingin sekali saja menjalani hidup seperti yang aku inginkan. Meski nekat dan kapanpun dapat dikeluarkan karena begitu banyak alasan, tapi setidaknya aku telah menjalani kehidupan yang aku inginkan. untuk bersekolah disini, merasakan apa yang remaja lain rasakan, meski aku harus memeras keringat lebih untuk itu" 

Malika mengatakan itu dengan suara serak dan mata yang kadang menutup. Laras bisa merasakan perasaan senangnya ia bisa bersekolah disini bagaimanapun keadaanya. 

Melihat bagaiman Malika mengisi mimpinya membuat Laras tersentuh, masih banyak orang yang memiliki mimpi dan tak menyerah kepada mimpinya. Tak sulit untuk menilai jika Malika sudah biasa bekerja keras dari kecil, melihat apa yang telah ia lewati sekarang.

"Itu kenapa aku tidak menolak kesempatan saat melihat di majalah jika Artland menyebar beberapa beasiswa, aku belajar begitu keras untuk mendapatkan kursi disini" Lanjut Malika, ada nada bahagia dalam suaranya. "Artland adalah mimpi yang menjadi nyata".

 Laras masih ingin menyimak, dia tak mengatakan apapun. Hingga Malika memberanikan diri untuk melanjutkan ceritanya.

"Aku memiliki ribuan pengalaman yang tak akan aku dapatkan jika tidak berani memimpikan Artland saat itu. Aku belajar banyak dan bisa menjadi penulis yang lebih berisi sekarang, meski banyak hinaan dan cacian... aku tak menyesal untuk belajar disini" Malika mengambil jeda, matanya seakan menerawang, 

"Dan orangtua ku tidak begitu khawatir seperti dulu, melihat aku bahagia dan bisa menghadapi semuanya, sepertinya itu membuat mereka lega" Malika mengambil jeda lagi, kali ini ia menundukkkan kepalanya, membuat Laras tak berpaling menatapnya.

"Lagipula... aku tidak boleh berhenti jika ingin memberikan hari esok yang lebih baik untuk mereka" 

Suara Malika benar-benar lemah dan serak, sebagian wajahnya yang tertunduk terutup oleh rambut sebahunya yang terurai. Laras menyimak dengan baik dan entah mengapa ia juga merasa lega, mendengar Malika tak melakukan ini untuk dirinya sendiri, tapi juga memikirkan kedua orangtuanya. Meski hidupnya disini pasti jauh dari kata bahagia.

"Jadi... orangtua mu, apa mereka tinggal jauh dari sini?"

Malika mengangguk kini ia tampak lebih stabil, tidak seperti langit mendung yang bisa hujan kapan saja seperti sebelumnya.

"Mereka di desa, masih di Bogor. Tapi mereka di desa. Cukup jauh dari sini"

Laras tampak manggut-manggut mendengar jawaban Malika. 

"Sudah selesai belum?" Tanya Randi yang kini berdiri disamping kursi Laras. Laras mendongak dan tersenyum. "Sudah" jawabnya ringan. Sementara Malika langsung merasa terintimidasi.

"Sudah selesai semua? Gak ada yang perlu ku jawab?" Tanya Randi memastikan, dia memandang Malika dan Laras bergantian. Tapi Malika masih saja menunduk.

"Sudah. sudah aku jawab semua kok" jawab Laras lagi. Randi tampak mengangguk.

"Ya udah, ayo pergi" Ajak Randi, Malika mengangkat kepalanya dan Laras menatapnya, tapi Malika hanya tersenyum, takut.

Laras akhirnya bangun dari duduknya, dia kembali menggantung tas dipundak kirinya.

"Aku pergi dulu ya, kalo masih ada yang kurang nanti bilang aja" Ucap Laras ramah dan Malika mengangguk pelan. Kemudian Laras pergi diikuti Randi.

Malika melepas nafasnya pelan saat kedua orang itu pergi. Dia memandang Laras yang kini berjalan beriringan dengan Randi. Dan obrolannya dengan Laras tadi terbayang dikepalanya.

Tak ada yang pernah berbicara dan terlihat begitu tulus selain Laras. Karena Laras begitu mendengarkannya seperti itu, Malika berharap mereka bisa berteman. Tapi apa berharap bisa berteman dengan Laras tak terlalu berlebihan?. Pikirnya dalam hati.

Ia tahu Laras, adik kelasnya. Gadis yang setahun lebih muda darinya sudah menjadi pusat perhatian sejak pertama ia masuk kuliah. Karena wajahnya yang cantik, matanya yang indah, atau karena Ia orang kaya.

Entah, tapi Laras sudah populer sejak ia kuliah.  Anehnya gadis yang memiliki segalanya seperti dia, tampil seperti orang tak punya apa-apa. Meski Malika yakin semua barang yang dipakai Laras, meski tidak mencolok, adalah Asli. Tapi gadis itu masih terlihat terlalu sederhana dibanding teman-teman perempuannya.

Gadis yang memiliki segalanya, wajah cantik, uang, dan teman-teman yang luar biasa. Yang dia tak pernah pergi kemanapun tanpa orang-orang terbaik disekelilingnya. Sahabat perempuannya yang cantik atau sahabat lelakinya yang tampan.

Jika dulu Malika berfikir jika pertemanan Laras dan yang lain hanya karena uang dan popularitas, maka Ia sekarang yakin jika dia salah. Siapa yang tak ingin berteman dengan gadis yang begitu menyenangkan seperti Laras?. Bahkan, ia pun sekarang ingin.

Malika tersenyum kecut memikirkan hal bodoh itu. Mereka masih akan terlihat seperti langit dan bumi. Bahkan meski Laras tampil polos tanpa make up dan hanya mengenakan pakaian sederhana. Malika menyudahi lamunannya. Ia membawa tasnya dan berlalu dari kantin itu.

🌙

Seperti yang sudah disarankan oleh Miss Greeny, Lucky mendatangi ruang latihan sore ini saat jam kuliahnya berakhir. Tapi keputusannya tidak berubah, dia belum tertarik untuk mengikuti audisi. Tapi tentu kedatangannya kesini juga bukan untuk menolaknya secara gamblang. Dia hanya akan datang, untuk menghormati keputusan dewan.

Dan menurut Aldy dia juga harus datang dalam acara pembukaan sebagai simbol kehormatan lainnya, setelah itu ia baru bisa pergi meninggalkan urusan audisi tanpa mempermalukan dewan penyelenggara.

Ada beberapa orang di ruang latihan ketika Lucky melihatnya dari balik pintu. Ruangan itu dikelilingi kaca, bangku-bangku sudah disiapkan dan beberapa staff menggunakan seragam Artland ada disana. Matanya berkeliling dan melihat ruangan ini mungkin tiga kali lebih besar dari ruang kelasnya, sementara alat musik berhamburan disetiap sudutnya.

"Lucky ya?" Tanya seorang gadis dengan name tag Fanny di dadanya. Lucky sedikit terkejut, kemudian mengangguk. Dia memperlihatkan undangan ditangannya. "Aku datang untuk ini" Ucapnya.

Fanny mengangguk, "Ini pertama kalinya untuk mu?" tanya Fanny, kini giliran Lucky yang mengangguk. "Kamu pasti agak bingung, tapi jangan khawatir semua akan baik-baik saja" lanjutnya. 

Dia
Dia mempersilahkan Lucky masuk dan mengikutinya. Lucky dikenalkan oleh beberapa orang disini dan yakin akan lupa nama mereka, dan Ia di persilahkan duduk.

Tak lama dua orang pria datang, Baim dan Ian. Lucky tak mengenal mereka, mereka cukup bersahabat dan berkenalan dengan Lucky dan mereka mengatakan jika Lucky satu-satunya murid baru yang pernah di undang oleh Artland. Kedua orang itu terlihat senang dan bangga, hingga Luckypun harus terlihat demikian.

Sekitar sepuluh menit kemudian seorang wanita datang. Aura musisinya begitu terlihat, tak sulit bagi Lucky menebak jika dia seorang Vocalist. 

Penampilannya cukup mencolok, bibir merah dan rambut coklat, tidak terlalu tinggi jika dibanding Laras tetapi badannya lebih berisi dibanding Laras. Dan Lucky mengusap wajahnya, sadar jika kini Laras telah menjadi tolak ukur untuk setiap gadis yang dilihatnya. Dan masalahnya, Laras selalu menang.

Wanita itu mengenalkan diri, namanya Ratu. Tapi ia tak banyak bicara seperti kedua lelaki sebelumnya. Dia hanya mengenalkan diri, tersenyum dan diam. Larut dengan Handphonenya. Gadis itu seakan menunjukan image jika dia mahal dan berkelas.

Ruangan mulai ribut karena perserta kelima tak juga datang. Mereka mulai menelpon dan mencari kabar. Mereka datang hari ini untuk diberi pengarahan , mereka akan diberitahu apa yang harus dilakukan oleh perserta terpilih. 

Dan Aldy benar, Lucky setidaknya harus datang memenuhi nomor urutnya agar tak mempermalukan dewan penyelenggara maupun dirinya sendiri. Dan Ia berterimkasih karena Miss Greeny menyuruhnya datang. Tak terbayang jika yang sedang di cari dan ditelpon itu adalah dirinya.

Tak lama, ketika staff hampir menyerah dan pintu terbuka dengan kasar. Seseorang berlari tergesa-gesa ke dalam ruangan. Membuat semua orang menoleh. Itu Doddi.

Doddi mungkin belum menyadari jika Lucky ada disana karena ia masih sibuk bercanda dan minta maaf dengan para staff. 

"Beneran lupa. dan kebetulan handphone itu mati tadi!" Ucapnya sambil terbahak dan staff menimpalinya dengan sumpah serapah.

"Lagian kenapa Doddi lagi, kita harusnya sudah beregenerasi sekarang. Doddi sudah terlalu tua" Celetuk Ratu. Semua orang menoleh ke arah Ratu saat dia bicara.

"Sama aja!. Kamu juga lagi-lagi disini" Sahut Doddi, "Tahun depan, aku gak bakal dateng walau di undang!" lanjut Doddi. Sementara Ratu hanya tertawa menanggapi kalimat Doddi. Doddi dan Ratu, mereka berdua telah menjadi perserta kehormatan sejak masuk kuliah. Ini tahun ketiga mereka.

"Lucky!!" Teriak Doddi tiba-tiba. Membuat Lucky kaget, tidak hanya Lucky, semua orang diruangan itu kaget.

"Parah! Untung kamu baru sekarang kuliah disini. Kalo dulu kita masuk kuliah bareng, aku pasti gak ada apa-apanya!" Lanjut Doddi. Membuat Lucky merasa tidak enak karena kalimat Doddi dinilai berlebihan.

"Kamu kenal?" tanya Ratu.

"Iya dong! Kita tetangga dulu. Teman kecil" Jawab Doddi bersemangat yang sekarang sedang merangkul pundak Lukcy.

"Aku gak nanya kamu, aku nanya Lucky" Jawab Ratu berlagak menyebalkan, dan kini dia beralih menatap Lucky. 

"Kamu kenal sama orang ajaib kayak dia?" Ratu sedang mencibir Doddi. Tapi Lucky hanya tersenyum dan Doddi mengumpat, pelan, "Sial"

Saat peserta lengkap, mereka mulai diberi arahan. Di adakan juga sesi tanya jawab yang direkam langsung oleh camera man mereka seperti sedang melakukan syuting. Hanya saja semua berjalan mulus tanpa narasi drama.

Hingga tiba saatnya mereka di tes kemampuannya. Ratu menjadi yang pertama menunjukan Vocalnya, diikuti permainan gitar oleh Doddi, selanjutnya Biola oleh Ian dan Drum oleh Baim. Dan yang terakhir adalah Lucky.

Mereka semua memiliki ciri khas permainan masing-masing. Disitu Lucky dapat melihat, Jika Ratu sama sekali bukan sekedar Vocalist, suaranya terdengar ajaib. Karena begitu teduh, merdu namun kuat. 

Begitu juga permainan Doddi, Baim, dan Ian. Membuat Lucky tersentuh karena meski sedikit, Lucky mengenal Gitar dan Biola. Kecuali Drum, Lucky sama sekali nol.

Dan saat Lucky mulai memainkan Grand Piano milik Yamaha itu, ruangan sunyi. Jari jemari Lucky seakan sedang melukis musim semi dan terasa sangat hangat. 

Terus dan terus, Lucky memainkan nada yang biasa ia pakai untuk latihan. Nada-nada yang mengalir sendiri dikepalanya, sampai orang-orang disekitarnya termangu saat musik telah berhenti.

Doddi menggelengkan kepalanya "Terimakasih untuk telat masuk Artland" Ucapnya polos dan semua orang tertawa. "Aku pasti gak kebagian piala kalo kita kuliah bareng. Terimakasih untuk telat" Ucap Doddi lagi. Lucky hanya tertawa seperti banyak orang disekitarnya

 "Kalo tadi karya kamu, kamu lebih baik mengurus hak ciptanya" Ucap Ratu. Dan Doddi mengangguk-anggukkan kepalanya "Kamu beneran harus ngurus hak cipta" dia membenarkan kalimat Ratu.

Lucky hanya tertawa, Ia tidak merasa jika permainannya sebaik itu. Mungkin karena teman-temannya tidak mengerti piano, hingga mengatakan permainannya bagus. 

Tidak lama setelah bermain solo, mereka semua ditantang untuk memainkan lagu secara bersamaan. Dan Lucky menyukai itu, bermain bersama-sama,  hingga tak sadar jika hari sudah gelap.

___________________________________________

<< PREVIOUS : MOONLIGHT Eps.4

____________________________________________


Judul : MOONLIGHT
Oleh : XXXRERAIN
Keterangan : Cerbung
Ganre : Fantasy, Romance,


Update : Sabtu




Comments

Popular Posts