Dandelion


May, 21, 2020 8:46 p.m

Aku selalu datang kedalam dekapanmu, setiap kali dunia terasa begitu melelahkan.
Aku selalu pergi kedalam pelukanmu, setiap kali dunia terasa begitu menakutkan.
Di dunia yang tak pernah basa-basi dalam menyakiti ini,
Kamu selalu tempatku untuk pulang,
Kamu selalu tempat untuk aku sebut rumah,

Tapi hari ini sedikit berbeda, aku berlarian dan merasa perasaanku berhamburan. Dari jauh, kau memicingkan matamu seperti biasa, khawatir. Namun kali ini, segurat garis heran muncul di air mukamu.

Lagi, aku kembali pulang dalam dekapanmu. Ku sesap wangi dirimu, lalu kutumpahkan isi hatiku dalam dadamu.

Untuk pertama kalinya, aku pulang bukan dalam keadaan takut.
Untuk pertama kalinya, aku kembali bukan dalam keadaan tertekan.

Matamu yang jernih disana, seolah mengintrogasi mataku. Ya, aku tahu.

“Bagaimana perasaanmu?” itu hal pertama yang selalu kau ucapkan setiap aku pulang, setelah berlarian di dalam dunia yang sialan ini.

“Aku . . . Merasa senang” ucapku tergugu. Begitu senang, hingga hampir membuatku menangis.

Tanpa kata, kau hanya mendekapku lagi. Tanpa kata, aku mengerti semua isyaratmu.

Hingga rasa haru itu entah kenapa justru semakin menelanku. Tidak. Ini tidak baik. Aku mulai tersedu. Sambil terus memaki, kenapa aku merasa seperti ini.

Aku masih saja merasa seperti sampah tidak berguna meski tidak terjadi apa-apa.

Aku kembali linglung. Larut dalam perasaan kalutku. Bahkan, pada hari pertama aku merasa bahagiapun, aku masih kalut.

Kau tangkupkan tanganmu di wajahku,
“Katakan . . . ”, pintamu.
Tapi aku tak jua bersuara, selain suara tangisku yang semakin keras dan tersedu-sedu.

Kau selalu bilang, banyak hal menyakitkan di dunia ini, tapi yang paling menyakitkan adalah suara tangisanku. Kau selalu merasa marah kepada dunia ini, setiap kali aku harus menangis dan kesakitan seperti itu.

Aku selalu pulang, membawa hal yang paling menyakitkan untukmu, tapi kamu selalu disini, menerimaku.
Menjadi tempatku untuk meneduh,
Menjadi tempatku untuk berlindung,

“Katakanlah . . .”, ucapmu sekali lagi dengan suara yang mulai serak.

“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menangis kali ini”, ujarku. “Sekali lagi, rasanya apapun yang aku rasa, selalu menenggelamkan aku, di tempat gelap yang paling aku takuti. Bahkan hari ini juga, saat aku pulang dengan rasa bahagia”. Ku tatap matamu, matamu yang bersinar lembut seperti rembulan.

“Apa yang kau takutkan kali ini?”, tanyamu.

Aku menggeleng, tidak terlalu yakin. Meski begitu, rasa kosong ini seakan terus menusuk ke ulu hati. “Aku merasa . . .” ucapanku mengambang di udara, aku berusaha menjelaskan perasaan yang tidak terjelaskan ini. Aku mencoba untuk menjelaskannya, senyata dan sedekat mungkin dengan perasaanku.

“Aku merasa, perasaan senang ini begitu rapuh”,
Aku kembali menerawang jauh ke dalam matamu,
“. . . Begitu rapuh, hingga angin sore yang sepoi-sepoi dapat begitu mudah menghancurkannya. Hancur dengan begitu mudah, seperti Dandelion”

Dengan begitu, kau kembali membawaku dalam dekapanmu. Seakan menyalurkan semua kasih sayangmu untukku yang tanpa batas itu.

“Kau takut,” ucapnya menggantung, suaranya kembali melembut dan penuh percaya diri. Seolah, pada akhirnya kau kembali dapat memahamiku.

“Kau takut pada rasa bahagia ini. Seakan perasaan itu begitu rapuh, hingga dapat hancur kapan saja. Begitu rapuh, seperti dandelion”, aku mengangguk membenarkan kalimatmu. “Karena begitu rapuhnya, hingga kau berfikir, kapanpun, dengan mudah, hal hal sialan itu dapat kembali menyakitimu 'kan?”, aku kembali mengangguk. Kali ini, ku tatap lagi matamu, yang bersinar hangat seperti rembulan.

“Kau tahu?, Beberapa orang tidak lantas dengan mudah beradaptasi. Tidak lantas dengan mudah memahami hal-hal baru yang terjadi. Mungkin ada, yang begitu mudah terbiasa dengan hal-hal tertentu, tapi juga ada, mereka yang kesulitan”.

“Orang yang kesulitan itu, memiliki berbagai macam alasan, salah satunya adalah 'rasa tidak percaya'. 'Rasa tidak percaya' itu muncul karena telah tersakiti begitu lama. Hingga meski perasaan menyenangkan itu akhirnya datang, mereka tidak mempercayainya.” ucapannya kembali mengambang di udara, tapi dekapannya semakin erat. Sepertinya, aku mengerti.

Aku adalah orang yang kesulitan itu. Aku juga orang yang tidak 'mempercayai' itu. Tergeletak dalam kubangan luka terlalu lama, telah membuatku semenyedihkan ini. Rasanya aku akan menangis lagi.

“Tapi kau tahu?”, Kamu kembali menangkupkan tanganmu di wajahku, seakan memberiku isyarat, jika aku harus mengerti apapun yang  akan kamu katakan, “itu tidak apa-apa . . . ”

“Wajar, seseorang merasa khawatir karena menemukan hal baru. Wajar, seseorang tidak mempercayai beberapa hal, karena terlalu lama dikhianati oleh hal-hal yang mereka percayai”, meski kalimatmu begitu panjang, aku selalu bisa mengingat semuanya dan setiap kata darimu . . . selalu menjadi yang penuh arti untukku.

“Dan wajar . . . karena kebahagiaan dan kesedihan itu datang dan pergi. Meski kamu telah lama terendam dalam genangan kesedihan ini, bukan berarti tidak ada kebahagiaan yang pantas untukmu. Dan meski kebahagiaan akhirnya datang, bukan berarti akhirnya mereka menetap selamanya di hatimu. Menurutku, selama kita masih hidup, hal-hal disekitar kita terus berputar”. Tatapan matamu yang lembut itu mengakhiri kalimatmu, tepat dalam hatiku.


“Kau selalu tahu, kau adalah yang paling kuat yang bertahan sejauh ini. Aku mengerti, bahwa segala hal ini terasa begitu melelahkan. Tapi, masih banyak hal yang harus dipelajari. Jika kau ingin bertahan. Dan kau telah berjanji untuk terus bertahan dan hidup”

Kalimatmu terdengar lebih seperti ancaman seorang penagih janji. Tapi meski begitu, aku mengangguk dan sepenuhnya mengerti. “Apa yang harus aku pelajari lagi?”, Aku tidak akan mengeluh mempelajari hal-hal sialan ini, selama itu berarti aku bisa bertahan dan hidup denganmu.

“Banyak hal datang dan pergi. Dan itu pasti akan mempengaruhimu. Tapi kita harus terbiasa. Terbiasa seperti dandelion yang kelopaknya berhamburan terbawa oleh angin”.

Aku mengangguk,

“Aku tidak bilang ini akan mudah. Karena segala hal, memiliki proses. Tapi kau adalah hati yang terkuat yang pernah aku temui, jadi meskipun itu akan sulit, aku tahu jika kamu tidak akan kalah”.

Aku tidak ingin berkata apapun lagi. Aku hanya ingin kembali dalam dekapanmu dan bersyukur atas keberadaan dirimu. Aku akan bertahan atas apapun, selama ada dirimu. Hal-hal menyakitkan memang akan tetap terasa menyakitkan. Tapi itu saja. Karena bagaimanapun menyakitkannya, aku akan baik-baik saja denganmu.


Comments

Popular Posts