Amar & Dina


ilustrasi judul cerpen

Amar Rahadian itu mahasiswa semester akhir di sebuah Universitas elit di Bogor . Dia itu calon Master Bisnis , tapi dia itu pecinta Sastra . Jika ditanya "Kenapa tidak masuk fakultas Sastra ? " . Amar akan menjawab , "Bapak saya itu , Usaha Jual Beli juga pengrajin Batik di Jogja , jika saya mengambil Fakultas Sastra , nanti saya hanya mengagungkan usaha bapak saya dalam Aksara , alias berandai-andai . Bukanya ikut mensejahterakan perusahaan ". Tutur Amar dengan gaya bicaranya yang "Medok"
Amar itu cukup menarik , kulitnya bersih ,tubuhnya tinggi kurus . Meski orangnya terkesan seenaknya , tapi dia itu sangat mengutamakan kebersihan . Terutama kebersihan badan . Dia mungkin tidak wangi seperti teman temanya yang kadang berlebihan menggunakan minyak wangi , tapi bisa dijamin Amar itu paling resik diantara pria pria kinclong dikampus .
Dan sebagai lelaki yang cukup dewasa untuk jatuh cinta , maka hati Amar seolah memiliki Kiblatnya sendiri . Memiliki arah utaranya sendiri . Jika gadis itu terjangkau oleh tatapan matanya , bisa dipastikan teriakan orang disekitarnya tidak mampu untuk mengalihkan pandanganya .
Tidak berbeda dengan hari ini , meski bunga bunga yang Amar beli selalu berakhir ditangan yang salah . Meski teriakan dan makian orang yang berada dibelakang mobilnya seharusnya terasa menyayat . Amar sama sekali tidak peduli , bahkan mungkin semua itu seolah tidak terjadi . Jika sempat , Amar akan memakirkan mobilnya dan menghampiri toko bunga itu , jika tidak Ia akan berhenti sedikit lebih lama hanya untuk memandang ke dalam toko bunga itu .
"Masih ada waktu ... "
Pikir Amar , sebelum akhirnya memakirkan mobilnya di trotoar . Baru pukul sebelas siang . Seminar dikampusnya baru akan dimulai setelah makan siang . Dengan Almamater berwarna hitam pekat , Amar terlihat lebih tampan hari ini . Dibanding hari lain dengan kemeja lusuh atau kaos belel .
"Ada yang bisa dibantu ka ? "
Tanya Ardina Pertiwi , saat Amar memasuki Toko Bunga itu . Sekejap , udara yang cukup panas diluar berubah menjadi sejuk dan semerbak . Bukan hanya karena pendingin udara dan bunga bunga segar . Tapi juga , karena hati Amar ikut membeku saat menatap mata Dina .
"Biasa, mawar untuk Ibu Dosen " sahut amar dengan cengiran lebar .
"Kaka yakin mau mawar ? Mungkin Ibu Dosenya sudah bosen ka , bisa bisa nanti judul skripsi kaka ga diterima tuh  ...  "
Amar tampak seolah berfikir .
"Bener juga yah , jadi kamu ada saran ? "
"Mungkin , sejenis Dinner ... eemm ... makan malam romantis ? "
Jawab Dina mengejek , Amar kemudian tertawa .
"Kenapa ga sekalian nyuruh aku beli cincin ? "
"Aku yakin , Ibu dosen itu bukan tipe kaka "
"Emm ... benar ! . Dia sama sekali bukan tipe aku " . Amar manggut manggut .
"Jadi .... kalo nanti aku kuliah disana , aku harus gimana dong ka?
aku kan ga mungkin kasih mawar ...  " . Kini Dina yang tampak berfikir .
"Kamu mau kuliah disana ? " . Amar tampak sangat antusias .
"Ya , rencanaya tahun ini . Tabunganku sudah cukup untuk menutupi biaya masuk "
"Yaah ... " . Kini Amar sedih .
"Kenapa ? "
"Kalo aku tahu, kamu mau kuliah disana, aku pasti ngajuin sidangnya tahun depan .
biar ngerasain kuliah bareng kamu " . Amar benar benar menyesal , tapi menurut Dina itu seolah rasa sedih yang dibuat buat .
"Emang kaka begitu ya ? "
"Kenapa ? "
"Selalu gombal sama banyak gadis ? "
"Enggak , aku cuma gombalin gadis yang VVIP aja kok " . Tapi Dina hanya mencibir tidak percaya .
"Jika nanti kaka ga terlalu sibuk , mungkin aku butuh bimbingan dalam beberapa hal " Nada bicara Dina mulai serius .
"Aku ini anak manajemen Bisnis , bukan calon Insinyur Pertanian "
"Memang , siapa yang mau jadi Insiyur Pertanian ? "
"Lho ... kamu kan punya toko bunga , emang gak mau bisa bikin kebun bunga sendiri ? "
"Kalo aku yang jual , aku juga yang menanam , terus ... nanti petani bunga mau jual bunga mereka kemana ? " . Dina berhenti , Amar tampak menyimak .
"Rejeki itukan ada takaranya , kita ga boleh serakah " sambung Dina .
"Jadi ... Manajemem Bisnis ? " . Tanya Amar memastikan .
"Yap ! " . Jawab Dina ringan .
"Sebisa mungkin , aku pasti bantu! " . Ucap Amar dengan semangat menggebu .
"Thankyou ka , sebagai ucapan terimakasih ... hari ini mawarnya gratis yah ! "
Dina baru saja akan meninggalkan tempatnya untuk mengambil Mawar terbaik untuk Amar . Sebelum Amar menarik lenganya . Membuat raut wajah Dina bertanya tanya .
"Setelah aku pikir pikir , mungkin ada baiknya mengajak makan malam . Sebagai tanda aku udah mulai serius ... " . Ucapan Amar membuat Dina tidak karuan , benarkah Amar naksir Dosenya ?
"Serius Lulus maksudnyaa ... " sambung Amar ,seolah membaca air muka Dina . Dinapun tertawa .
Setelah bertukar kartu nama , Amar pun pergi , melanjutkan perjalanan menuju kampusnya , mungkin Amar akan telat beberapa menit .
•••
Sebagai Mahasiswa yang akan segera mendapat gelar , Amar tidak memiliki tugas deadline yang membuatnya dikejar kejar dosen . Dia hanya harus fokus pada tugas akhirnya . Judul yang di ajukan Amar sudah diterima , tugasnya kini adalah melakukan riset untuk skripsinya . Hal ini mungkin menguras pikiran , tapi Amar selalu meluangkan waktu untuk membantu Dina mempersiapkan kuliahnya .
Dina diterima di kampus itu pada Ujian masuk gelombang pertama dan mendarat di posisi dua puluh besar . Hal itu sangat menakjubkan , mengingat Dina sempat menunda Kuliahnya selama setahun . Meski , Amar tak benar benar membantu dalam materi pelajaran . Dina berlaku seolah Amarlah yang membuatnya meraih nilai memuaskan .
Dan saat mulai duduk , bergaul dan berada dilingkungan yang sama dengan Amar . Kini Dina tahu , jika Amar memilki banyak "Omong Kosong" . Amar bohong untuk banyak bunga yang Ia beli dengan alasan untuk selingkuhan , juga Ibu dosenya , karena nyatanya dosen yang mengajar dan membimbing Amar adalah lelaki , dan nyatanya teman teman sekampus Amar Syok melihat Amar dekat denganya , Karena tak satupun gadis dikampus ini pernah dipacari Amar , meski banyak yang menggodanya .
Dan Amar juga bohong , saat bilang Ia hanya lulus dari kampus ini karena uang yang mengalir deras dari Ayahnya . Nyatanya , Amar selalu mendapat Nilai Ujian tertinggi , mendekati sempurna . Dan meski Amar bilang dia tidak punya keahlian, Piala Piala Perlombaan Sastra yang mentereng di Kantor Dekan itu tertera Namanya , Amar Rahadian . Hal ini membuatnya mendapatkan beberapa beasiswa, namun dia selalu merekomendasikan orang lain untuk menerima beasiswanya . Kecuali , beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 di London , hanya itu yang Amar terima .
"Aku tidak tahu , berapa banyak kebohongan lagi yang kamu sembunyikan "
Tutur Dina , saat keramaian teman teman yang makan siang satu meja dengan mereka meninggalkan mereka berdua . Ucapan Dina yang memvonisnya mentah mentah membuat Amar tersedak . Teh Kotaknya tumpah membasahi Kaos belelnya .
"Hati hati ka  ... " . Ucap Dina mengulurkan sapu tangan .
"Setiap orang pasti bereaksi sama , jika di vonis mentah seperti itu ! " . Ucap Amar sedikit kesal . Namun , Dina justru tersenyum , senyuman lembut yang memancarkan kasih sayang seperti biasanya .
"Jadi , apa alasan kaka untuk setiap cerita karangan , saat membeli bunga? "
"Itu hanya reaksi spontan ... " . Jawab Amar santai . Dina hanya manggut manggut . Orang seperti Amar itu bukan orang yang pantas untuk didebat . Amar mungkin sejuk , dan tenang layaknya Air , tapi Dina yakin jika Pria didepanya ini bisa jadi sangat mematikan .
"Aku akan melanjutkan S2 di London , aku harap kamu bisa menyusulku kesana . Dilihat dari Ujian Masuk , kamu pasti Siswi yang akan mendapat prioritas di atas rata rata "
"Entahlah ... aku pasti mengikuti jejakmu , kaka itu bukan sekedar Mentor tapi juga Inspirator . Semoga , aku juga bisa mendapat beasiswa ke London " . Ucap Dina serius . Entah mengapa kini Amar seolah menjadi penunjuk jalanya . Ia seakan terobsesi dengan Amar . Dan harus bisa memantaskan diri untuk berada disamping Amar .
"Aku yakin kamu bisa " . Sahut Amar memberi dukungan .
"Mungkin aku akan banyak merepotkan , karena aku pasti membutuhkan banyak bantuan " .
"Aku tidak keberatan ...  " . Amar mengatakanya seolah itu sangat mudah baginya . Hal itu kembali membuat Dina mencibir .
"Besok , aku akan menjemputmu . Posisi kamu sudah aman , jadi aku akan mulai fokus menggarap proyek akhir . Mungkin setelah besok , aku tidak punya banyak waktu luang "
Ucap Amar seolah bicara pada orang yang paling Ia sayangi di dunia . Dan Dina merasakan itu . Ya , Dina merasakanya . Setiap kasih sayang itu tercermin dari setiap patah kata dari bibir Amar .
"Ya , Aku mengerti . Kita akan sama sama berjuang . Aku juga akan berusaha memangkas waktu kuliah , mungkin nanti kita bisa satu kampus di London! "
"Aku setuju . Itu ide bagus ! . Berjuanglah ! " . Sahut Amar berbinar binar .
Dan mulai saat ini mereka berdua tidak hanya saling berusaha , tapi hati mereka kini selalu berdoa . Atas harapan anak manusia yang berharap bisa mengukir langit .
•••
Amar sudah telat lima belas menit . Tapi Dina masih terus menunggunya . Namun , hingga matahari mulai menyengat , Amar masih belum datang . Nomor Ponsel Amar tidak bisa dihubungi . Dina sudah kehilangan kelas pertamanya , tapi Dina yakin bisa menyusul kelas pertama di jam istirahat nanti . Dan saat Jam istirahat hampir tiba , Dina menyerah . Dina akhirnya pergi sendiri kekampus tanpa menunggu Amar .
Tapi hingga kelas sore berakhir , Amar tetap tak terlihat . Tidak ada teman yang tahu kemana Amar . Mungkin sakit , Sepulang kuliah Dina menyempatkan diri mengunjungi Flat Amar . Tapi hasilnya pun , Nihil . Flatnya terkunci, kosong . Tidak ada satu tetanggapun yang tahu kemana Amar pergi .
Hari terus berganti , ini sudah hari kelima sejak Amar menghilang tanpa jejak . Bahkan, dari pihak kampuspun tidak ada yang mempunyai Informasi kemana Amar . Dina terus menulusuri , masalah yang menyebabkan Amar menghilang begitu saja . Tapi tidak ada yang mengaku punya Masalah dengan Amar , Baik hutang atau masalah Pribadi Lain . Dikampus ini , Amar benar benar terkenal seperti Air . Dia tidak punya masalah yang menjerat disini .
Hingga satu minggu lebih , Dina lelah meski dia belum menyerah . Dia terus memonitoring Flat Amar . Setelah Kuliah , tujuan pertama Dina itu bukan pulang, tapi Flat Amar.
Hujan kini terus turun , seolah menyirami hati Dina yang kehilangan . Yang Dina tahu setiap Ia bangun pagi , Ia dalam keadaan kecewa . Karena hampir dua minggu Amar tidak memberinya kabar sama sekali . Dina kini down , hidupnya sudah mulai tidak teratur . Ia lupa waktu tidur dan makan .
•••
Sore itu cukup cerah , meski Dina harus terlambat pulang setengah jam . Karena Dosen yang tidak ada bosan nya mengajar . Dina terus merutuk , kenapa dosen itu tidak peka , jika hampir seluruh anak didiknya itu sudah merasa muak dengan teorinya ?! . Dina terus memaki , sambil terus menginjak pedal gas mobil tua nya menuju flat Amar .
Didekat tempat parkir , diflat itu ada sebuah taman . Hari mulai gelap , dan tamanpun mulai sepi , kecuali seorang pria yang masih duduk dibangku taman dipinggir jalan sendirian . Dina tidak memperhatikan , tapi Pria itu jelas memperhatikan Dina . Dina tidak mampu melanjutkan langkahnya begitu keluar dari mobil . Ketika tangan Amar menariknya . Mereka diam tapi mata mereka saling bicara . Dan hati mereka terus bertanya . Hingga Amar merengkuh Dina dalam dekapanya . Tangis Dina Pecah .
"Jadi , kau kembali dengan alasan ? ". Tanya Dina masih diantara Isak tangisnya . Amar terus mengusap Air matanya . Dina bisa merasakanya , jemari amar yang panjang kini semakin langsing , dua minggu lebih dan Amar semakin kurus , dan kantung matanya pun coklat kehitaman . Amar masih belum bicara . Melihat gadis ini adalah impianya sejak dua minggu lalu .
"Amar ... kau baik baik saja ? Kau membuatku khawatir ! "
"Tidak pernah sebaik ini , karena bisa melihatmu sekarang " . Ucap Amar berat dan Dalam .
"Jadi , apa alasanya ? "
"Bisakah kita hanya menikmati ini ? Tanpa perlu aku memberi alasan ? . Merindukan mu itu sangat menyiksa , masalah ini akan membunuhku pelan pelan . Bisakah kau menyejukan hatiku , tanpa perlu aku berbohong ? " . Suara amar serak menahan tangisan . Tapi Dina terus menggeleng .
"Aku perlu alasan logis, untuk meyakinkan aku , jika aku tidak berharap pada orang yang salah . Agar aku tahu rindumu itu bukan hanya permainan lisan amar "
"Aku merindukan mu , aku bahkan mencintaimu . Aku tertarik padamu sejak melihatmu membagikan bunga untuk anak anak siang itu . Sejak itu aku memperhatikan mu . Tapi tolong jangan paksa aku untuk memberi alasan kali ini . Aku hanya ingin menikmati ini . Sedikit banyak waktu yang aku miliki sekarang , aku pertaruhkan untuk ini ... "
Dina masih tidak mengerti .
"Amar , pliss aku butuh alasan yang lebih rasional . Katakan ... apa dokter memberi vonis buruk terhadap mu ? . Kita akan hadapi ini Amar ...! "
"Sejak aku mencintaimu , vonis mati adalah yang terbaik seandainya dokter mengatakan demikian . Tapi aku baik baik saja "
"Lantas apa amar !! " . Ucap dina setengah menjerit .
"Dina ... pliss  ... tidak cukupkah aku mencintaimu ? Tidak cukupkah aku ada disini bersama mu ? . Tidak cukupkah aku kembali sementara waktu hanya untuk bersama mu ? "
Dina semakin histeris . Amar kembali mendekapnya . Dalam tangisanya Dina terus meracau.
"Kenapa sementara amar ? . Aku ingin selamanya ! . Amar ...  "
"Dunia memang sementara Ardina , dan aku bersyukur karena kita tidak perlu menderita lebih lama . Kita mungkin tidak bisa bersama di London . Tapi aku akan berjuang untuk kebersamaan kita yang abadi . Jika kita bisa berbakti dimasa sekarang , aku harap Tuhan membalas rasa bakti kita dengan cinta kita ditempat lain . "
Tapi Dina masih terus menangis . Rasa sedih memenuhi dadanya . Mungkin cinta itu tidak perlu diungkapkan , tapi dalam waktu yang singkat ini , tidak ada yang ingin Amar lakukan selain mengungkapkan rasa cintanya untuk Dina . Betapa Ia ingin mendekap gadis ini seumur hidupnya .
•••
Diantara udara dingin yang menyelimuti Bogor . Angin berdesau lembut seolah ikut hanyut dalam kesedihan hati Amar dan Dina . Sesuai perintah Amar , tidak ada yang berani menginterupsi waktunya bersama Dina . Amar sudah kembali kekampus , tapi masih tanpa alasan . Dan Tugas akhirnya akan Ia selesaikan di Jogja . Waktunya disini sepenuhnya untuk Dina . Semua hal menyangkut kuliahnya akan diurus diakhir nanti . Saat waktunya tiba Ia harus kembali ke Jogja .
Dina memang Istimewa . sedikitpun tidak ada rasa sesal dari Amar untuk mencintai Dina . Saat Amar meminta Dina untuk tidak menanyakan alasan kepergianya , agar Amar bahagia . Dina menurut . Apapun , asal Amar bahagia.  Meski kini jurang perpisahan mereka semakin dekat . Tanpa tahu apa penyebabnya . Dina hanya menggambarkan jika kisahnya dengan Amar tertimpa bencana Alam . Tidak ada yang bisa dilakukan selain tegar . Kini ungkapan kesedihan itu seperti bahan lelucon diantara mereka berdua .
"Ingat pesan ku , berbaktilah dengan siapapun nanti kau akan hidup . Selalu berbuat benar dan berlakulah baik . Terutama jangan menyiksa dirimu sendiri . Aku tidak mau cinta kita saling menyakiti , apalagi sampai menyakiti orang lain . Jangan menyerah , kau tahu bahwa ditempat lain aku pun begitu "
Ucap Amar sambil terus menatap Dina seolah tiada hari esok . Dina sudah bisa mengontrol hatinya . Ia percaya , apa yang dilakukan Amar adalah yang terbaik untuk mereka .
"Berharap belas kasih-Nya untuk menyatukan kita ditempat yang berbeda , Maka kita harus merayu agar Tuhan mengabulkanya ? " . Ucap Dina dengan senyum selembut beludru. Berusaha mengikuti nada bicara Amar .
"Iya ... cinta kita sedang diterpa bencana Alam " . Amar membenarkan .
"Sungguh ... kita hanya bisa meminta tolong kepada Sang Penguasa Alam ! "
"Jadi ... kau siap? " . Amar mencoba ikut meyakinkan hati
"Tentu saja Amar Rahadian . Aku mempercayaimu , aku siap karena aku yakin aku tidak jatuh cinta pada seorang penipu . Aku jatuh cinta pada seseorang yang menolongku saat tahu akan patah hati "
"Itu terdengar seperti pencegahan bencana Alam  " . Goda Amar .
"Iya ... Kau tahu kemana kita harus melangkah , bahkan meski terpisah . Setidaknya aku punya semangat untuk memulai lagi "
"Semangat mu itu prioritas ku . Hatimu itu tak akan aku biarkan mati dan putus asa . Itu karena aku mencintaimu . Yakinkan aku jika, kau cukup kuat untuk menghadapinya . Karena aku akan kuat juga "
"Tentu saja aku kuat !! . Kita membicarakan perpisahan seolah membicarakan pernikahan ! " . Sahut Dina dengan senyum lebar .
"Aku mencintaimu Ardina Pertiwi "
"Aku lebih mecintai mu , Amar Rahadian  "
Dan perpisahan itu harus dihadapi , seperti jatuhnya daun yang masih hijau dimusim hujan . Meski kebenaran alasan Amar masih terselubung . Tapi Dina memilih mempercayai Amar seperti Dina mencintainya . Cinta mereka tertimpa bencana Alam , dan mereka harus tegar . Dina yakin cepat atau lambat Dina akan tahu Kebenaran tentang alasan Amar , itu hanya soal waktu .
Dan kebenaranya ...
Amar memilih menikahinya , Gadis bernama Cahaya . Gadis itu buta permanen karena kedua matanya rusak . Cahaya juga lumpuh , tapi kelumpuhanya bisa dipastikan sembuh , meski prosesnya tidak sebentar . Cahaya Korban kecelakaan maut yang terjadi di Jogja. Karena kesalahan ayah Amar yang mengantuk saat mengemudi .
Selain buta dan lumpuh , cahaya kini sebatang kara . Kedua orang tuanya dan seorang kakak laki lakinya meninggal ditempat . Ayah Amar kritis , tapi masih bisa diselamatkan beliau kehilangan banyak darah . Dan dua orang pengendara sepeda motor, juga menjadi korban meninggal .
Amar memilih cahaya , tentu saja orang dengan kualitas moral tinggi akan memilih cahaya . Karena Dina , siapa yang tidak akan jatuh cinta pada Dina ? . Gadis cantik dan pintar juga rendah hati itu , siapa yang tidak mau menikahinya ? . Tapi Seorang Cahaya yang buta juga sebatang Kara ?? 


 ______

Rhainy Akatsuki/xxxrerain 

Comments

Popular Posts