MOONLIGHT [EP.1]



MOONLIGHT


CERBUNG MOONLIGHT OLEH RENY MUSTIASIH


[Ep. 1]


Artland University luar biasa cerah di pukul sepuluh pagi ini. Murid-murid berseliweran sedemikian rupa di halaman depan dengan berbagai gaya. Berteriak, terbahak, berlari dan mondar-mandir tidak keruan.

Lucky Hermawan takjub dengan pemandangan di depan matanya. Gedung tinggi menjulang, halaman luas yang asri dan bersih juga semua orang yang mengekpresikan dirinya masing-masing dengan bebas. Benar-benar kampus impian.


"Kamu mau masuk atau mematung saja disini?"


Tanya Lily yang duduk dibalik kemudi mobilnya. Menggoda adiknya yang tertegun di kampus barunya.


"Kampusnya keren kak... ada ya yang begini?" Jawab Lucky polos.


Kakaknya hanya mencibir "Jelas lah! kalo aku punya pohon uang jangankan tempat belajar kayak gini. Dari TK aku bakal bikin Jurusan Astronomi!". Cerocos Lily, ibu muda yang riang. Wajahnya tirus di bungkus jilbab, meski terkesan terlalu riang, tapi dia sangat santun. "Malu ya? kamu mau di anter ke dalem kayak anak SD?"  Imbuhnya.


"Sial" jawab Lucky jengkel, terus-terusan di goda oleh kakaknya. "Aku masuk yaa, thanks ka ..."


"Ceemangaatt yaakks oom!" Teriak dua anak kecil berpipi bakpao dan rambut ikal yang mendadak menyembul keluar dari kaca mobil. Lily terbahak melihat anak-anaknya. Dimas dan Dara, kembar. Berusia 5 tahun.

Lucky gemas. Tidak tahan untuk tidak mencium dan mencubit pipi kedua keponakannya sebelum pergi.

Lucky sebelumnya menjadi siswa musik di salah satu universitas seni di Bandung. Tapi setelah Ayahnya meninggal tahun lalu, Ibunya terus merencanakan agar ia dan keluarga pindah ke Bogor. Di Bandung mungkin terlalu berat bagi Ibunya. Dan lagi, Ayah meninggalkan beberapa usaha keluarga di Bogor yang dapat di gunakan untuk melanjutkan hari-hari mereka.


Artland bukan kampus biasa. Cukup sulit juga Lucky untuk menentukan kemana Ia akan melanjutkan kuliahnya. Karena tak mungkin meninggalkan ibunya. Biaya kuliah di Artland cukup mahal, meski setara dengan kualitasnya. Dengan restu ibu dan dukungan keluarga kecil kakaknya, Lucky akhirnya memantapkan diri untuk masuk Artland. Karena ia mahasiswa pindahan, maka sistemnya tidak terlalu rumit seperti proses seleksi mahasiswa baru. Dan untungnya kemampuan Lucky mendapat perhatian lebih dari Artland.


Lucky cukup heran dengan siapa yang membangun Universitas ini. Profil nya sangat tertutup, meski Universitas ini telah menjadi raksasa dunia hiburan. Setiap siswa di tahun kedua memiliki kesempatan untuk tampil di depan umum, mengisi acara atau pameran. Pendapatan dari acara-acara itu yang di gunakan oleh sebagian besar siswa membantu pembiayaan kuliah mereka. Jika bisa melakukan hal yang kita suka dan di bayar, kenapa tidak?. Dan kita juga dapat terus belajar, setiap hari kita memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi. Itulah, Artland adalah mimpi yang menjadi nyata dengan Jaringan entertainment seluas itu.


***


Laras baru datang. Ia kesiangan. Rambut panjangnya yang memerah akibat sinar matahari berterbangan tidak keruan di terpa angin karena tidak di ikat. Dia terlihat seibuk mengecek beberapa berkas di ranselnya.


Penampilannya buruk. Lingkar mata menghitam, badan kurus dan terlalu tinggi untuk ukuran gadis lokal. Satu-satunya yang menarik dari Laras adalah matanya yang menyala terang. Kadang kebiruan, kadang kehijauan. Selain itu Ia hanya gadis berusia 20 tahun yang terlalu banyak bergadang.


Ia sudah berjanji untuk mengumpulkan naskah lombanya sejak kemarin. Tapi karena terlalu sibuk bekerja paruh waktu dan bergadang Ia lupa mengumpulkan naskah lombanya. Tidak masalah jika saja Ia mengikuti lomba ini sendirian, masalahnya ia telah memaksa Randi Rahardi sedemikian rupa untuk berkolaborasi dengannya dalam Lomba Naskah untuk Festival Seni Tahunan di kampusnya.


Laras bergidik ngeri jika ia harus melihat Randi murka dan berisik seperti ayam yang baru saja bertelur!


BRUGH!!


Seseorang baru saja tertabrak. Dan setumpuk kertas Sketsa melayang di udara. Diiringi tawa keras orang-orang di sekitarnya dan angin kurang ajar yang membawa terbang kertas-kertas itu. Laras memasukan kembali berkas yang ia pegang ke dalam ranselnya, Ia menghampiri Ifana Ayu. Gadis berkepang dua, berkacamata tebal yang sedang terseok-seok memunguti kertas sketsanya. Karena tak akan mungkin ada yang membantu gadis polos itu, bahkan yang menabraknya sekalipun.


Tidak sulit untuk orang yang terlalu berlebihan seperti Laras menyimpulkan jika, seseorang sengaja menabrak Ifana untuk mengolok-oloknya. Ini bukan hal baru. Sementara Ifana sibuk lari-larian, jongkok dan lompat mengambil kertas sketsanya.


Bahkan Laras yang membantunyapun tertawa. Betapa polos dan bebasnya pikiran Ifana, hingga tak ada sekat sama sekali antara apa itu baik dan apa itu tolol.


Dan dibawah sinar matahari seterik itu,

dibawah langit sebiru itu,
diantara angin yang menari kian kemari. Lucky terpaku.
Laras... senyumnya... rambut berantakannya, tubuh kurusnya, lingkar mata hitamnya, telah menahan langkah kakinya, dan menahannya begitu kuat. Hingga sebuah sketsa jatuh di kakinya.

Lucky memungut kertas sketsa itu. Gambar Ifana bagus, tapi lebih bagus jika ia mengembalikannya pada Laras.


Lucky berjalan dengan perlahan menghampiri Laras yang masih tertawa dan memegang beberapa Sketsa. Sementara Lucky, jantungnya seolah ingin keluar dari dadanya. Dia terus berdebar seakan melayang. Ini kah rasanya?


"Ini milik teman mu?"


Ucap Lucky saat telah berada di samping Laras. Membuat Laras menoleh ke arahnya dengan senyum riang.


"Oh?  Terimakasih!" Jawab Laras masih tertawa. Bukannya pergi Lucky malah terus berdiri disana, ikut menonton Ifana.


Lucky dan Laras yang berdiri berdampingan mungkin tidak menyadarinya. Tapi kini bukan Ifana lagi yang menjadi perhatian. Tapi kedua orang yang tinggi menjulang itu, tampak silau berada dibawah sinar matahari.


Sadar jika ada yang lebih menarik dari Ifana, Laras menoleh ke arah sampingnya, Lucky.


"Sepertinya saya belum pernah melihatmu..."


Lucky sekarang salah tingkah. Wajahnya memerah. Ini hari pertama kuliahnya, tentu saja!.


"Iya, ini hari pertama saya", jawab Lucky kalem


"Sungguh?. Saya Marissa Larasati. Panggil Laras, saya di kelas sastra. Dan kau?"


Laras mengulurkan tangannya tanpa beban.


"Lucky. Lucky hermawan. Saya di kelas musik".


Dan Luckypun menjabat uluran tangan itu dengan riang.


"Kamu siswa pindahan?"


"Iya. Saya dari Bandung. Saya dan keluarga saya baru saja pindah kesini"


"Wah, senang sekali kenal musisi. Tapi aku harus pergi" Laras menunjukan raut wajah menyesalnya "Mungkin lain kali, kita bisa ngobrol-ngobrol", tambahnya. Lucky masih merah, menanggapi kalimat Laras yang begitu ramah, "tentu saja", jawab Lucky.


"Sampai jumpa dan ... terimakasih sekali lagi ..." sembur Laras saat ingin berlalu.


"Laras ... " Kalimat Lucky menggantung di udara ketika Laras mengambil beberapa langkah untuk mengembalikan kertas Sketsa Ifana.


Entah kenapa Laras mendengar itu, Laras menoleh. Kali ini senyumnya begitu lembut dan penasaran. Sekejap Lucky menutup mulut dengan tangannya. Malu. Tapi membekap mulutnya sendiri justru membuatnya lebih malu. Salah tingkah.


"Tidak, apa-apa. Aku hanya ingin memanggil nama mu saja". Ucap Lucky terburu-buru. Tapi Laras sengaja menggodanya, dan memberi ekspresi tidak puas dan penuh tanya di wajahnya. Membuat Lucky semakin jantungan. Wajahnya sudah benar-benar memerah.


"Tidak apa-apa. Nama mu bagus!" Lucky mencari alasan, "Ya nama mu bagus!" Lucky berkata sambil tanganya bergerak-gerak di udara tidak jelas.


Akhirnya Laras pergi. Pergi dengan senyum yang membuat hawa panas menjadi dingin saat itu juga. Ya, namanya Laras.


***

________________________________________

<< PREVIOUS : PROLOG

________________________________________

Judul : MOONLIGHT
Oleh : XXXRERAIN
Keterangan : Cerbung
Ganre : Fantasy, Romance,

Update : Sabtu

Comments

Popular Posts