MOONLIGHT [EP.3]
Sudah
tiga hari berlalu sejak hari pengumuman pemenang lomba naskah, tapi Laras dan
Randi masih sibuk menerima ucapan selamat dari siapapun yang Ia temui di
kampus.
Randi terlihat santai, Ia tidak terlalu keberatan menjadi pusat perhatian. Namun berbeda dengan Laras, yang setengah mati menghindari kerumunan-kerumunan orang yang ia temui.
Laras tidak menyangka menjadi pemenang lomba naskah akan membuatnya begitu populer.
Randi terlihat santai, Ia tidak terlalu keberatan menjadi pusat perhatian. Namun berbeda dengan Laras, yang setengah mati menghindari kerumunan-kerumunan orang yang ia temui.
Laras tidak menyangka menjadi pemenang lomba naskah akan membuatnya begitu populer.
“Raaaasss… ! ”
Teriak seseorang di belakangnya, Laras
menggerutu sebal pada siapapun yang memanggilnya dengan sapaan sok akrab itu,
hingga membuat beberapa orang ikut menoleh padanya.
Laras tidak menoleh, tidak juga berhenti berjalan. Ia malah semakin merunduk dan berusaha cepat-cepat kabur. Ia mendengar suara langkah kaki –siapapun-itu- sedang mengejarnya, tapi Laras tak peduli, ia tidak berhenti. Hingga lengan seseorang merangkul pundaknya.
Laras tidak menoleh, tidak juga berhenti berjalan. Ia malah semakin merunduk dan berusaha cepat-cepat kabur. Ia mendengar suara langkah kaki –siapapun-itu- sedang mengejarnya, tapi Laras tak peduli, ia tidak berhenti. Hingga lengan seseorang merangkul pundaknya.
“Ya ampun, kamu sampai gak mau noleh ya aku
panggil"
Ucap
gadis yang rambutnya digelung dan senyumnya lebar, begitu berkilau seperti
mentari. Mau tak mau Laras ikut tersenyum melihatnya.
“Kalau
tahu kamu yang manggil aku bakal lari deh”
Sahut Laras sambil berusaha melepaskan diri
dari rangkulan Annisa. Tapi Annisa malah tertawa lebar.
“Senang deh kamu menang lomba naskah tahun ini.
Kenapa
tidak ikut lomba dari dulu saja ? ”
Ucap Annisa yang kini berjalan beriringan
dengan Laras, Laras merasa janggal dengan nada bicara temannya. Ia mengerutkan
alis curiga. “Sebaiknya, kamu beritahu ann, apa maksud
terselubung kamu”. Annisa tertawa lagi, kalimat Laras memang tepat sasaran.
“Apa?
Aku hanya ingin menyapa kok”
“ Bohong ” Sela Laras kemudian, dan Annisa
lagi-lagi
tertawa.
“
Baiklah , karena kamu teman yang baik. ” Annisa mengambil jeda, Ia berusaha membaca
mimik wajah Laras, sebelum akhirnya bicara diselingi cengiran lebarnya yang
khas.
“ Kamu
tahu kan, festival ini sangat penting untuk masa depan kita. Jelas kita tidak
boleh melewatkan kesempatan langka ini”
“Sebaiknya
kamu katakan intinya saja” Laras menyela lagi. Malas mendengar kalimat yan tidak berguna dari
Annisa.
Dan Annisa terbahak lagi.
Dan Annisa terbahak lagi.
“Jadi menurutmu apa yang akan di minta oleh
seorang siswi teater saat temannya memenangkan lomba naskah?”
“Tidak sulit menebak, jika temannya itu akan
membujuk agar si pemenang lomba naskah ini membocorkan naskahnya. Agar temannya
mendapat petunjuk tetang karakter dan alur cerita dalam naskah. Dan memenangkan peran di malam puncak. Iya ‘kan ?”
Annisa berlagak takjub dengan jawaban Laras.
Kini keduannya berhenti di tengah koridor menyulitkan orang-orang yang akan
lewat di sekitar mereka.
“Kamu luar biasa” ucap Annisa berlagak
terpukau. Sementara Laras mencibir.
“Kamu tahu? Kamu memiliki kemampuan. Jadi tanpa
berbuat curang, kamu pasti menang”
Annisa belum sempat bicara, karena Laras
menepuk pundaknya dan berkata,
“S E M A N G A T ! ! !”
sebelum akhirnya pergi. Annisa tidak menyerah, dia mengejar Laras tapi langkahnya terhenti saat sudah memasuki area gedung Sastra.
“S E M A N G A T ! ! !”
sebelum akhirnya pergi. Annisa tidak menyerah, dia mengejar Laras tapi langkahnya terhenti saat sudah memasuki area gedung Sastra.
Memasuki
kelas semuanya sama saja. Kemenangannya dan Randi masih menjadi topik utama. Terlebih
teman-temannya terus-menerus memanggilnya sebagai pemenang.
“Jadi kapan keadaan kita akan normal?”
Tanya Laras kepada Randi yang duduk di
belakangnya.
“Tahun depan, saat mereka memiliki pemenang
yang baru” jawab Randi datar
Laras tidak percaya jawaban Randi, Ia memilih
berbalik menghadap kedepan dan memulai pelajarannya.
🌙
Ini pertama kalinya Lucky datang ke kantin.
Biasanya Ia memilih makan siang di luar sendirian karena Ia belum memiliki
teman yang akrab dan langsung pulang setelah pelajarannya selesai.
Namun kali ini Ia memiliki seorang teman yang mau repot-repot menariknya ke kantin setelah jam pelajarannya selesai.
Ia bilang Lucky harus mengenal murid-murid populer di Artland dan menjalin pertemanan dengan mereka, karena kemampuan Lucky bermain piano cukup memukau, dengan menjalin pertemanan dengan murid-murid populer, Lucky akan terlihat menonjol dan orang-orang akan tahu kemampuannya.
Terlebih di musim audisi yang akan di gelar, hal ini akan bagus sekali untuk masa depan Lucky. Apalagi jika bisa mendapatkan tempat di pementasan malam puncak saat Ia masih begitu baru.
Namun kali ini Ia memiliki seorang teman yang mau repot-repot menariknya ke kantin setelah jam pelajarannya selesai.
Ia bilang Lucky harus mengenal murid-murid populer di Artland dan menjalin pertemanan dengan mereka, karena kemampuan Lucky bermain piano cukup memukau, dengan menjalin pertemanan dengan murid-murid populer, Lucky akan terlihat menonjol dan orang-orang akan tahu kemampuannya.
Terlebih di musim audisi yang akan di gelar, hal ini akan bagus sekali untuk masa depan Lucky. Apalagi jika bisa mendapatkan tempat di pementasan malam puncak saat Ia masih begitu baru.
Lucky sendiri tidak terlalu tertarik dengan
gagasan itu, audisi bukan prioritasnya. Ia lebih suka memulai karirnya sendiri,
akan lebih bebas dan bannyak pengalaman yang Ia ambil, meski resiko gagalnya
pun lebih banyak.
Tapi itulah kenapa Ia memilih Artland, karena kampus ini seperti legalisasi jika lulusan mereka akan layak tampil di depan umum. Dan Lucky akan menggunakan stempel Artland sebagai asuransi jikalau Ia terpaksa menggunakannya.
Tapi itulah kenapa Ia memilih Artland, karena kampus ini seperti legalisasi jika lulusan mereka akan layak tampil di depan umum. Dan Lucky akan menggunakan stempel Artland sebagai asuransi jikalau Ia terpaksa menggunakannya.
Sedangkan
untuk urusan berteman dengan murid populer, Lucky yakin Ia memiliki seorang
teman di kelas musik yang sangat populer, bernama Doddi Wibowo. Hanya saja
Lucky dan Doddi beda kelas.
Dan
kedatangan Lucky kesini murni untuk sekedar mengetahui, seperti apa murid populer
di Artland.
“Lihat
itu kumpulan anak teater, mereka terlihat akrab kan?. Sebenernya tidak. Kalau
audisi sudah di mulai mereka benar-benar akan bertarung dengan sengit” ucap
Aldi Mahendra yang sedari tadi bicara mengenalkan satu persatu kelompok di
sepanjang jalan menuju kantin.
Sementara Lucky tidak terlalu menanggapinya, Ia sibuk mencari Doddi, Ia
yakin Doddi pasti berteman dengan murid populer lain disini.
Tapi tidak ada Doddi saat Aldi mengenalkan
kumpulan siswa kelas musik yang duduk tidak jauh dari pintu masuk kantin.
“Jadi dimana Doddi? Bukannya dia juga termasuk siswa cemerlang di kelas musik?” Tanya Lucky, Ia sudah cukup mengenal beberapa orang dari kelasnya dan mereka bersikap baik pada Lucky. Tapi Lucky terlalu segan untuk bergabung bersama mereka.
“Jadi dimana Doddi? Bukannya dia juga termasuk siswa cemerlang di kelas musik?” Tanya Lucky, Ia sudah cukup mengenal beberapa orang dari kelasnya dan mereka bersikap baik pada Lucky. Tapi Lucky terlalu segan untuk bergabung bersama mereka.
“Doddi?” Tanya Aldi menegaskan dan Lucky mengangguk
pasti. “Dia beda, dia biasanya berkumpul dengan anak-anak
diluar kelas musik. Semacam kumpulan siswa lintas jurusan”.
Lucky mengerutkan kening mendengar jawaban Aldi. “Jadi lintas jurusan itu pertemanan macam apa?”.
Aldi tertawa kecil, lalu Ia mengajak Lucky berjalan hampir mengitari separuh kantin untuk sampai di pojokan dekat tempat parkir. Kantin di pojok sini lebih terbuka, dan banyak pohon rimbun menjadikan kantin di pojokan ini lebih sejuk di banding di dalam sana tadi yang terkesan 'panas'.
Lucky mengerutkan kening mendengar jawaban Aldi. “Jadi lintas jurusan itu pertemanan macam apa?”.
Aldi tertawa kecil, lalu Ia mengajak Lucky berjalan hampir mengitari separuh kantin untuk sampai di pojokan dekat tempat parkir. Kantin di pojok sini lebih terbuka, dan banyak pohon rimbun menjadikan kantin di pojokan ini lebih sejuk di banding di dalam sana tadi yang terkesan 'panas'.
Lucky
melihat Doddy, Ia sedang tertawa bersama teman-temannya. Ada lima orang lain
yang duduk satu meja dengan Doddi dan salah satunya adalah Laras.
Laras sibuk dengan entah apapun yang ada di Laptopnya dan pria di sebelahnya entah siapa kadang ikut melihat apa yang ada di dalam Laptop Laras, seakan mengoreksinya.
Meski pria itu tidak sepenuhnya fokus pada Laras tapi Lucky yakin mereka berdua dekat. Atau mungkin semua orang di meja itu teman dekat, pikir Lucky sekali lagi.
Laras sibuk dengan entah apapun yang ada di Laptopnya dan pria di sebelahnya entah siapa kadang ikut melihat apa yang ada di dalam Laptop Laras, seakan mengoreksinya.
Meski pria itu tidak sepenuhnya fokus pada Laras tapi Lucky yakin mereka berdua dekat. Atau mungkin semua orang di meja itu teman dekat, pikir Lucky sekali lagi.
“Ayo
duduk sini, aku akan beritahu siapa mereka”
Lucky
menurut saja saat Aldi mengajaknya duduk di meja dua kursi yang dapat untuk
melihat sekumpulan murid populer itu dengan jelas.
“Itu
Doddi, dari kelas kita. Dia memang berbeda, tidak terlalu suka bergabung dengan
sesama siswa musik”
Aldi mulai menjelaskan, tapi sepertinya setiap siswa disana memang berbeda “atau mereka semua berbeda ya?” Aldi seakan bertanya pada dirinya sendiri, Lucky hanya tersenyum sekilas dan kembali melihat Laras. Jelas setiap orang disana berbeda, batin Lucky.
Aldi mulai menjelaskan, tapi sepertinya setiap siswa disana memang berbeda “atau mereka semua berbeda ya?” Aldi seakan bertanya pada dirinya sendiri, Lucky hanya tersenyum sekilas dan kembali melihat Laras. Jelas setiap orang disana berbeda, batin Lucky.
“Tapi
intinya mereka semua berkumpul karena memiliki kesamaan. Mereka enggan berteman
dengan siswa sekelas karena percuma saja mereka akan saling menjatuhkan”
“Dengan berteman dengan siswa kelas lain, maka mereka akan terus berteman tanpa perlu berpura-pura baik. Karena mereka tidak akan bersaing dimanapun”.
Kali ini Lucky mendengarkan baik-baik penjelasan Aldi. Konsep pertemanan lintas jurusan ini memang masuk akal, jika berteman dengan kelas yang sama mereka tidak akan benar-benar berteman.
Meski Lucky baru di kampus ini, tapi Lucky sadar tingginya kadar persaingan di kampus ini. Lebih tinggi dibanding apa yang ada di pikirannya saat Ia belum kuliah disini.
“Dengan berteman dengan siswa kelas lain, maka mereka akan terus berteman tanpa perlu berpura-pura baik. Karena mereka tidak akan bersaing dimanapun”.
Kali ini Lucky mendengarkan baik-baik penjelasan Aldi. Konsep pertemanan lintas jurusan ini memang masuk akal, jika berteman dengan kelas yang sama mereka tidak akan benar-benar berteman.
Meski Lucky baru di kampus ini, tapi Lucky sadar tingginya kadar persaingan di kampus ini. Lebih tinggi dibanding apa yang ada di pikirannya saat Ia belum kuliah disini.
“Disamping
Doddi ada Gilang. Nama lengkapnya Gilang Sucipto kalau tidak salah. Ia dari
kelas fotografi.” Aldi dan Lucky sama-sama tidak berpaling dari sekumpulan
siswa itu, Lucky memastikan akan mendengarkan dengan seksama apapun yang
dikatakan Aldi.
“Disebelah
Gilang itu Olivia Charles dari kelas desain busana. Dia pernah merancang busana
untuk salah satu Brand fesyen besar di Asia” Aldi diam sejenak, terlalu fokus
pada Via, gadis dengan rambut sebahu yang begitu imut itu “Dia cantik dan
sangat periang”. Lucky menoleh merasa janggal dengan kalimat Aldi.
“Sepertinya
ada bau cinta disekitar sini” gurau Lucky. Dan Aldi tampak salah tingkah sebelum
melanjutkan kembali penjelasannya.
“Disamping
Via itu Renata Putri, cantik juga ya?” Aldi melirik sebentar ke arah Lucky,
ingin tahu bagaimana reaksi Lucky. Tapi wajahnya datar, sepertinya Ia tidak
terlalu tertarik dengan Renata.
“Renata dari kelas tari, dia cantik. Kecuali sifatnya yang sering memberi harapan palsu” cengir Aldi hambar.
“Dan disebelah Renata itu ada Randi. Randi Rahardi”. Ini yang di tunggu Lucky, Ia memastikan akan mendengarkan dengan sangat detail di bagian ini. Tapi ketika Aldi menyebut nama Randi, nama itu tidak asing akhi-akhir ini.
“Dan disebelah Renata itu ada Randi. Randi Rahardi”. Ini yang di tunggu Lucky, Ia memastikan akan mendengarkan dengan sangat detail di bagian ini. Tapi ketika Aldi menyebut nama Randi, nama itu tidak asing akhi-akhir ini.
“Dia dari kelas sastra, sama seperti Laras,
Marissa Larasati yang duduk di sampingnya”
“Mereka pemenang lomba naskah tahun ini kan?”
“Yap!” jawab Aldi bersemangat “Mereka berdua
luar biasa terkenal akhir-akhir ini”
“Mereka kelihatan begitu dekat”
“Mereka berdua memang dekat, Laras dan Randi
sudah begitu sejak dulu. Lihat saja sampai mengikuti lomba naskah saja mereka
berkolaborasi. Padahal sebelumnya mereka tak pernah ikut lomba apapun”
“Dan mereka semua bisa berkumpul begini ya karena Laras. Ia seperti magnet dan memiliki banyak teman dari berbagai kelas. Salah satu siswa dari kelas teater tadi yang kita lewati adalah teman dekatnya juga, namanya Annisa”
“Dan mereka semua bisa berkumpul begini ya karena Laras. Ia seperti magnet dan memiliki banyak teman dari berbagai kelas. Salah satu siswa dari kelas teater tadi yang kita lewati adalah teman dekatnya juga, namanya Annisa”
Lucky tampak menganggukan kepalanya, meski
matanya tidak perbaling dari Laras.
“Laras itu cantik” ucap Aldi tapi Ia sadar jika
semua gadis disana ia bilang cantik, lantas ia meralat kalimatnya “Maksudku,
dia lebih cantik dari yang lain. Bahkan dari Via, hanya saja ia terlalu
sederhana”.
Lucky sedikit keberatan saat Aldi memuji Laras
Lucky sedikit keberatan saat Aldi memuji Laras
“Sebaiknya aku
mentraktirmu minuman karena telah berusah payah menjelaskannya padaku” ucap
Lucky Ia beranjak dari duduknya.
Aldi tampak sumringah “Wah… terimakasih bro!” Luckypun berlalu menuju ke konter makanan.
Aldi tampak sumringah “Wah… terimakasih bro!” Luckypun berlalu menuju ke konter makanan.
Sore
seperti ini kantin cukup sepi, banyak bangku kosong. Mungkin suasananya akan
berbeda jika Lucky datang kesini pada jam makan siang, pasti akan ramai.
Bangku akan penuh dan konter makanan pasti antri.
Lucky masih antri di konter untuk menunggu minumannya, saat samar-samar suara obrolan dan tawa semakin dekat hingga ada di belakangnya. Ketika Lucky menoleh disamping, itu Doddy dengan Laras di belakangnya.
Bangku akan penuh dan konter makanan pasti antri.
Lucky masih antri di konter untuk menunggu minumannya, saat samar-samar suara obrolan dan tawa semakin dekat hingga ada di belakangnya. Ketika Lucky menoleh disamping, itu Doddy dengan Laras di belakangnya.
“Wah…
Lucky!” sapa Doddi bersemangat. “Hai!” jawab Lucky tampak canggung. Laraspun
melihat Lucky, dan mereka berdua tersenyum bersamaan. “Aku baru lihat kamu
kesini” ucap Doddi
“Iya, tadi di ajak sama Aldi” Lucky menunjuk
dagunya ke arah Aldi yang sepertinya sedang menulis pesan di handphonenya
“Kamu
kenal sama dia?” tanya Laras kepada Lucky, sementara tangannya menunjuk Doddi.
Lucky tersenyum tipis dan mengangguk. “Maaf ya kalau Doddi sedikit jahat, punya
teman baru tapi tidak di ajak main”. Laras terdengar sangat polos dengan kalimatnya.
“Kamu sendiri kenal sama dia?” Kali ini Doddi
bertanya pad Laras. “Kenal” Laras mengangguk-anggukan
kepalanya “Namanya Lucky kan, Lucky Hermawan. Anak baru di kelas kamu” sambung Laras
“Kamu tahu dari mana?” Doddi yang berada di
tengah-tengah antra Lucky dan Laras menoleh pada keduannya secara bergantian.
“Aku pasti orang pertamanya yang di ajak bicara
di kampus ini kan?” Laras mengedarkan pandangannya dari Doddi ke Lucky. Hingga
Laras dan Doddi kini mentap Lucky bersamaan.
Lucky bingung sejenak, hingga akhirnya ia
mengiyakan “Iya, aku menolongnya memungut sketsa temannya yang jatuh”
Doddi tidak mengerti, kini Ia menoleh ke arah
Laras.
“Ifana, ” jawab Laras
lembut. Dan sekarang Doddi tampak mengerti. Meski ia tidak tahu apa yang terjadi pada Ifana. Tapi Doddi tidak
terlalu ingin tahu, karena Ifana memang sering sekali menjadi korban kejahilan
orang-orang.
Pesanan
Lucky siap, ia membawa dua gelas jus jeruk di tangannya. Kini gantian Doddi
yang memesan. Sementara Lucky dan Laras mengobrol.
“Kamu
pasti akan terbiasa. Belajar disini cukup menyenangkan kan?” tanya Laras. Lucky
masih tampak canggung, tapi dia menganguk.
“Iya,
aku jadi tahu lebih banyak tekhnik, padahal aku baru seminggu disini”
“Beda
kelas ya sama Doddi?”
Lucky
hanya mengangguk.
“Kebetulan
ini musim audisi, jadi kamu pun dapat langsung berpartisipasi dan …” Laras belum menyelesaikan kalimatnya
saat Doddi menyela
“Randi mau minum apa ras??”
tanya Doddi yang
memesankan minum untuk mereka semua.
“Dia minum apapun asal jangan kopi dod” Jawab Laras tanpa menoleh, tapi kemudian ingat jika Randi menyukai jambu, jadi Laras kembali bicara pada Doddi.
“Sebaiknya jus jambu. Dia suka jambu, dari pada kamu membelikannya softdrink” Doddi hanya mengangguk atas instruksi Laras.
“Dia minum apapun asal jangan kopi dod” Jawab Laras tanpa menoleh, tapi kemudian ingat jika Randi menyukai jambu, jadi Laras kembali bicara pada Doddi.
“Sebaiknya jus jambu. Dia suka jambu, dari pada kamu membelikannya softdrink” Doddi hanya mengangguk atas instruksi Laras.
Sementara Lucky sedikit heran, Laras seolah
sangat mengerti Randi
“Jadi kamu mau ikut audisi kan?”
Kalimat Laras untuknya membuyarkan rasa tidak
enaknya, “Sepertinya tidak, aku tidak terlalu tertarik dengan audisi”
Laras sedikit heran dan bertanya kenapa “Itukan
bisa menjadi jalan pintas mu di kampus ini”. Lucky tertawa ringan, “aku lebih
suka memulai sendiri”
Laras tampak mengangguk, “Lebih bebas tanpa
tuntutan lebih tepatnya”.
Dan kini Laras tampak mengerti.
Pesanan Doddi sudah selesai, Laras membawa dua
gelas, Doddi dua gelas dan sisanya siap diantar oleh penjaga konter makanan.
Doddi dan Laraspun segera kembali.
Sebelum berpisah dengan Lucky, Doddi berjanji akan sering menemuinya di kelas musik dan akan membantunya jika Ia memiliki kesulitan, begitupun Laras. Mereka bertiga berpisah dan kembali ke meja masing-masing.
Sebelum berpisah dengan Lucky, Doddi berjanji akan sering menemuinya di kelas musik dan akan membantunya jika Ia memiliki kesulitan, begitupun Laras. Mereka bertiga berpisah dan kembali ke meja masing-masing.
Lucky kembali
ke mejanya di sambut oleh antusias Aldi. “Kamu mengenal mereka? Kamu mengenal Doddi dan
Laras ??”.
“Doddi
temanku” jawab Lucky singkat dan mnyeruput minumannya.
“Kamu
berteman dengan Doddi? Kenapa tidak
bilang?”
“Ku
pikir itu tidak penting” jawab Lucky asal.
“Penting
bro, kalau kamu sudah berteman dengan siswa populer berarti kamu juga populer.”
Ucap Aldi bersemangat sambil minum dengan terburu-buru “popularitas yang akan
mengantakanmu ke level lebih tinggi, dan membuat skill mu semakin di acungi jempol”.
Lucky hanya tertawa tidak tertarik.
“untung
saja aku sudah mengambil foto kalian bertiga”
Lucky
terbatuk dan melotot pada Aldi “untuk apa kau mengambil foto itu?”. Lucky
tampak panik, tapi Aldi hanya terbahak.
“kau
akan membutuhkannya suatu hari nanti, saat kau memikirkan karir mu” tapi Lucky
hanya menggeleng tidak terarik.
Menurutnya, Ia akan di pandang karena skill nya, bukan karena ia berteman dengan murid populer.
Menurutnya, Ia akan di pandang karena skill nya, bukan karena ia berteman dengan murid populer.
“Tapi
gadis itu … Laras” Nada bicara Aldi yang serius membuat Lucky menoleh ke arahnya.
“Kamu harus berhati-hati”, Lucky mengerutkan keningnya, bingung.
“Kau
tahu, jika semua orang di meja itu bukan orang sembarangan. Yang bergabung
disana sudah pasti memiliki kemampuan yang lebih baik dari murid-murid lainnya”
“Anak baru sepertimu yang belum terlalu terlihat kemampuannya, akan menjadi korban bullying yang empuk. Mereka akan berfikir kau dengan curang menarik perhatian mereka” Aldi berhenti dan mencoba membaca raut wajah Lucky yang tampak bingung.
“Kamu tidak usah khawatir, aku tahu kemampuan mu. Permainan piano mu bagus. Jadi kau pasti akan di terima dengan mudah, dan lagi … ”. Aldi menghentikan kembali kalimatnya, membuat Lucky menoleh lagi padanya dengan tanda tanya di wajahnya.
“Anak baru sepertimu yang belum terlalu terlihat kemampuannya, akan menjadi korban bullying yang empuk. Mereka akan berfikir kau dengan curang menarik perhatian mereka” Aldi berhenti dan mencoba membaca raut wajah Lucky yang tampak bingung.
“Kamu tidak usah khawatir, aku tahu kemampuan mu. Permainan piano mu bagus. Jadi kau pasti akan di terima dengan mudah, dan lagi … ”. Aldi menghentikan kembali kalimatnya, membuat Lucky menoleh lagi padanya dengan tanda tanya di wajahnya.
“Kamu
cukup tampan, sekali keluar kandang, kamu pasti akan menjadi pujaan banyak
gadis disini”
Dan
untuk kalimat terakhir yang di ucapkan Aldi, Lucky mengapresiasi itu dan dia
tertawa.
Lucky
masih disana mendengarkan mulut besar Aldi. Ia tahu jika Aldi orang yang tulus,
itu kenapa Lucky tinggal lebih lama di sana.
Dan lagi Laras dan teman-temannya
belum beranjak dari sana.
Lucky
terpaksa pergi lebih dulu, karena ibunya menelpon. Khawatir karena tidak
biasanya Lucky pulang terlambat.
Aldi dan Lucky akhirnya meninggalkan kantin lebih dulu. Lucky menoleh ke arah Laras, tapi sepertinya Laras terlalu sibuk dengan apapun yang sedang mereka bicarakan. Hingga Lucky sepenuhnya berlalu.
Aldi dan Lucky akhirnya meninggalkan kantin lebih dulu. Lucky menoleh ke arah Laras, tapi sepertinya Laras terlalu sibuk dengan apapun yang sedang mereka bicarakan. Hingga Lucky sepenuhnya berlalu.
🌙
Laras
dan kawan-kawannya baru beranjak dari kantin pukul lima sore. Saat langit sudah mulai redup dan
udara menjadi begitu sejuk. Mereka masih ramai seperti biasanya.
Randi berjalan paling depan dengan Doddi, Gilang sibuk dengan handphonenya dan Laras sedang di rayu oleh teman-teman wanitanya.
Randi berjalan paling depan dengan Doddi, Gilang sibuk dengan handphonenya dan Laras sedang di rayu oleh teman-teman wanitanya.
“Ayo donk ras, ikut kita beli gaun untuk pesta” rengek Via sementara Renata yang merangkul tangannya mengangguk setuju.
Laras
hanya tertawa dan menggeleng “Aku tidak bisa sore ini. aku harus bekerja.”
“Ya
ampun, Rizal itu cinta mati padamu. Jangankan bolos kerja, kamu minta apapun
pasti akan dituruti” ucap Renata dan Via gantian menganggukan kepalanya membenarkan.
“Ayo
donk, ini kan jum’at malam. Berani taruhan Rizal pasti lebih suka ikut kita
belanja di banding mengurus restorannya” Lanjut Via licik, seakan keluar dua
tanduk jahat di kepalanya
“Apa si yang ribut banget?”
Ucap
Gilang yang gregetan dengan tingkah anak perempuan setiap ada pesta. Mereka pasti
akan ribut soal gaun dan segala perlengkapan yang menurut Gilang terlalu
merepotkan.
“Kamu gak boleh begitu tahu lang,” kini Renata
ambil bagian, dia menarik Gilang dan membuat Laras dan Via ikut berhenti
menyaksikan. Doddi dan Randi yang sudah jalan duluan pun ikut berhenti dan
berbalik menoleh. Gilang yang tangannya di cengkram oleh Renata hanya menahan
tawa.
“Kamu suka ‘kan jika perempuan terlihat anggun,
cantik, manis?” tanya Renata dengan nada tegas namun keibuan.
“Yaah… tentu saja aku suka” Gilang tahu kemana
arah pembicaraan Renata. “Kalau begitu kamu gak boleh sebel, saat kami, para
perempuan ribut soal penampilan. Penampilan kita ‘kan untuk menyenangkan anak
lelaki”.
Mendengar kalimat itu, sontak tawa mereka di sekeliling Renata pecah. Kalimat yang digunakan Renata terdengar sangat parah ditelinga teman-temannya.
Mendengar kalimat itu, sontak tawa mereka di sekeliling Renata pecah. Kalimat yang digunakan Renata terdengar sangat parah ditelinga teman-temannya.
“Kok ketawa? Tapi bener ‘kan?” Renata melepas
tangan Gilang dan berputar melihat teman-temannya yang sedang menertawakannya,
mencari pembelaan. “Bener ‘kan ras ? bener ‘kan rand?”. Sementara Laras dan Randi
bahkan belum berhenti tertawa.
“Kamu benar, tapi apa kalimat kamu tidak ada
yang lebih baik dari –menyenangkan anak lelaki?-”
Mendengar jawaban Gilang, kini Renata ikut
tertawa. Sadar jika kalimatnya terdengar terlalu polos.
Mereka masih tertawa saat seorang gadis yang terlihat mirip ifana dalam versi yang lain, datang dan menyapa
mereka.
“Selamat sore.” Ucap gadis itu canggung, dia
membawa berkas ditangan. Rambutnya sebahu digerai dan terlihat kusam, dan
badannya juga tidak terlalu tinggi. Tapi kulitnya yang kuning langsat, menolong
penampilannya sore ini.
Gilang dan teman-temannya berhenti tertawa dan menunggu apa yang akan di ucapkan gadis ini.
Gilang dan teman-temannya berhenti tertawa dan menunggu apa yang akan di ucapkan gadis ini.
Cukup lama, gadis ini terlihat sangat malu. Ia tertunduk
dan meremas-remas berkasnya cemas. Hingga Ia mulai bicara,
“Nama saya Malika dari kelas sastra. Saya ingin
meminta Laras dan Randi, sekiranya berkenan untuk saya wawancara sebagai
pemenang tahun ini” ucap Malika dengan satu tarikan nafas. Dia sangat cemas,
tangannya tidak berhenti meremas-remas berkas dan menundukkan wajahnya.
Hening, sadar tidak ada yang menanggapi gadis
ini, akhirnya Laras angkat bicara “Kapan wawancaranya?”
Belum sempat Malika menjawab, Via sudah lebih
dulu memotong kalimat Malika.
“Jangan sekarang, kami sibuk” ucap Via acuh
“Jadi kapan?” kali ini Randi yang bertanya. Malika
makin cemas, Ia menjawab terbata “Bbbe..sok kalau kalian punya waktu”
“lihat besok saja ya?” tanya Gilang, tapi
Malika masih menunduk saja, dia sangat-sangat merasa tertekan berada didepan
mereka.
“Ayo pulang. Kita banyak urusan” kali
ini Renata yang mulai bertingkah menyebalkan. Dan Laras melerai,
“Renata…”
Renata tidak menghiraukan Laras, dia menarik
Gilang pergi. Dan Gilangpun ikut pergi tanpa merasa bersalah. Doddi mengikuti, meski
Randi masih diam menunggu Laras. Karena Laras belum beranjak saat Via
mengajaknya pergi.
“Maafkan teman-temanku ya. Aku tahu artikel ini
pasti penting untuk mu. Jadi akan ku usahakan oke?”
Malika tampak mengangguk mendengar kalimat
Laras. Ia bahkan hampir menangis, matanya mulai perih.
“Aku akan membujuk Randi juga” sambung Laras.
Randi mendengar kalimat Laras tapi memilih terima saja dengan apapun yang akan
di katakan Laras.
“Baiklah, sebaiknya kau pulang. Akupun akan segera pulang” tapi Malika masih hanya mengangguk saja.
“Baiklah, sebaiknya kau pulang. Akupun akan segera pulang” tapi Malika masih hanya mengangguk saja.
Randi tidak sabar dan mulai memanggil Laras, “Ayo
ras” Laras menoleh dan mengangguk. Saat itu Malika mengangkat kepalanya dan
Laras tahu jika Malika akan menangis.
“Terimakasih, ini sangat berarti bagiku”
ucapnya sendu. Laras hanya mengangguk mengerti, dan kemudian melangkah
meninggalkan Malika.
"Jahatnya kalian tadi,"
Ucap Laras mendramatisir, begitu Ia dan teman-temannya sampai ditempat parkir. Gilang yang sudah membuka pintu akan menaiki mobilnya urung, karena mendengar kalimat Laras.
"Gadis itu sekelas sama kamu kan?"
Via bertanya pada Laras. Sementara Laras mengingat-ingat, jumlah murid dikelasnya tidak lebih dari 15 orang. Dan Ia yakin tidak ada yang bernama Malika atau satu orangpun yang tampak menyedihkan seperti dia.
"Kita beda kelas" Jawab Randi singkat, padat dan tegas. Membuat Via hanya dapat ber "oh"
"Kamu kenal?" Kini Laras antusias pada Randi.
"Tidak" hanya itu yang keluar dari mulut Randi dan itu tidak membantu sama sekali.
"Tapi tahu?" Kini giliran Renata menodong Randi.
"Siapa si yang gak tau dia, kelasku yang di ujung dunia aja tahu" Sahut Doddi
"Aku gak tahu dod, sumpah!" Jawab Laras jujur. Sementara teman-temannya tampak tertawa tidak percaya. "Kamu ngapain aja sih tiga tahun ras ?" Tanya Gilang.
Sementara Laras semakin bingung.
"Duh, ayo tokonya keburu tutup!" Rengek Renata.
"Jawab dulu itu pertanyaan teman baik kamu" Sindir Gilang, karena lagi-lagi Renata sudah bergelayut ditangannya.
"Aku lagi gak bernafsu jadi teman baiknya Laras. Dia gak mau di ajak main" Ucap Renata memberi tatapan sebal pada Laras. "Lagipula aku capek latihan terus. Jawab pertanyaan Laras menguras tenaga aja!"
Laras tertawa mendengar rengekan Renata. Dia membuat ekspresi wajah memelas dan menangkupkan kedua tangannya seolah minta maaf.
Renata memang seperti itu. Dia suka merajuk tanpa pernah benar-benar marah. Malah pernah dia punya masalah dengan Via, mereka berdebat. Memang kondisi mereka sedang sama-sama lelah waktu itu. Renata sibuk latihan untuk pentas dan Via juga sedang sibuk mempersiapkan pentas busana. Masalah kecil yang membuat mereka berdebat dan tak saling bicara sampai seminggu.
Tapi begitu ingat Via akan mengadakan pentas di Singapura, Renata tanpa pikir panjang terbang ke Singapura dan menghadiri acara tersebut dan memberi dukungan. Setelah itu, dapat ditebak. Kedua sahabat itu berakhir dengan nangis 'bombay'.
Laras tertawa mendengar rengekan Renata. Dia membuat ekspresi wajah memelas dan menangkupkan kedua tangannya seolah minta maaf.
Tapi begitu ingat Via akan mengadakan pentas di Singapura, Renata tanpa pikir panjang terbang ke Singapura dan menghadiri acara tersebut dan memberi dukungan. Setelah itu, dapat ditebak. Kedua sahabat itu berakhir dengan nangis 'bombay'.
"Toko baju model apa yang tutup hari gini?" Tanya Doddi apa adanya, yang tampak gagal paham pada Renata.
"Sudah Ayo! Kita pulang" ajak Via menarik tangan Laras, karena biasanya Laras akan pulang dengan Via.
Tapi langkah Laras tertahan karena seseorang menarik tas dipunggungnya. Membuat Via juga ikut menoleh.
"Dia pulang denganku hari ini" Ucap Randi pada Via dingin dan tanpa dosa sama sekali. Dan sekejap Via melepaskan Laras.
"Oh oke. Silahkan kau bawa pulang" Ucap Via kini mendorong Laras mendekat ke arah Randi. Via tidak tahu apapun tentang hubungan apa yang sebenarnya dimiliki oleh Randi dan Laras. Tapi Via cukup paham untuk tidak menjadi penghalang jika memang ada cinta diantara kedua orang itu, Via berjanji akan mendukungnya.
***
"Jadi kau tahu Malika?" Tanya Laras masih penasaran. Saat ia sudah berada di mobil dengan Randi. Laras tidak punya mobil, rutinitasnya setiap sore saat pulang adalah nebeng mobil teman-temannya.
"Kamu lagi bercanda ya?" Randi mengangkat alisnya heran, lalu menyalakan mobilnya "Atau memang bodoh?" Lanjut Randi karena Laras tak mengatakan apapun selain memberi ekspresi bingung.
Tapi Laras tidak terima dia memukul pundak Randi hingga Randi meringis. "Aku gak tahu woy!" Ucapnya keras.
"Dia itu penulis majalah Artland." Jawaban Randi membuat Laras melongo. "Oh dia ingin mewancari kita untuk majalah Artland?" Laras mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri. Dia baru mengerti.
Laras hanya membaca majalah itu hanya jika artikel teman-temannya dimuat dalam majalah itu. Tanpa pernah ingin tahu siapa dibalik tulisan-tulisan itu.
"Jadi dia yang mewawancarai Via juga waktu itu? Gilang juga?"
"Memangnya, penulis artikel di Majalah itu hanya Malika?" mendengar kalimat Randi, membuat Laras berfikir, tidak mungkin Malika adalah satu-satunya.
"Dia mewawancari Via tapi yang mewawancari Gilang adalah orang yang berbeda" Randi menggelengkan kepalanya "Kamu beneran ngapain aja sih tiga tahun ras?"
Laras tertawa, dia memang agak tidak terlalu peduli tentang hal-hal seperti itu. "Ngabisin uang kakek aja sih kalau aku" Jawab Laras dengan cengir tanpa dosa.
"Jadi nanti artikel kita akan di muat?" Tanya Laras seolah baru sadar sesuatu dan Randi mengangguk membenarkan. Laras semakin antusias, "Kita jadi cover majalah itu ? Seperti Via dan Gilang?"
"Ngawur! mereka jadi cover karena menang lomba tingkat Asia. Kita baru menang tingkat RT!" Jawab Randi spontan dengan sedikit gregetan. Tapi Laras justru tertawa semakin kencang.
Randi tidak mengantarnya pulang, Ia mengantarkan Laras ke Restoran tempatnya bekerja. Restoran itu hanya berjarak beberapa blok dari Flat tempat tinggal Laras.
Laras bekerja paruh waktu meski Ia tak benar-benar membutuhkan uang. Kakaknya selalu mengirimkan uang yang lebih dari cukup untuk keperluannya. Laras hanya melakukan ini sebagai aktifitas, tapi lama kelamaan Ia menyukainya.
Bekerja, Kuliah, memiliki kesibukan membuatnya merasa lebih berarti dan lebih normal. Ia suka pekerjaanya, Ia suka kampusnya dan Ia suka teman-temannya. Ia menyukai kehidupannya yang sekarang.
***
________________________________________________
NEXT : MOONLIGHT Eps.4 >>
<< PREVIOUS : MOONLIGHT Eps.2
_________________________________________________
Judul : MOONLIGHT
Oleh : XXXRERAIN
Keterangan : Cerbung
Ganre : Fantasy, Romance,
Update : Sabtu
Comments