MOONLIGHT [EP.3]

MOONLIGHT


CERBUNG MOONLIGHT OLEH XXXRERAIN



[EP.3]


Sudah tiga hari berlalu sejak hari pengumuman pemenang lomba naskah, tapi Laras dan Randi masih sibuk menerima ucapan selamat dari siapapun yang Ia temui di kampus. 

Randi terlihat santai, Ia tidak terlalu keberatan menjadi pusat perhatian. Namun berbeda dengan Laras, yang setengah mati menghindari kerumunan-kerumunan orang yang ia temui. 

Laras tidak menyangka menjadi pemenang lomba naskah akan membuatnya begitu populer.

“Raaaasss… ! ”

Teriak seseorang di belakangnya, Laras menggerutu sebal pada siapapun yang memanggilnya dengan sapaan sok akrab itu, hingga membuat beberapa orang ikut menoleh padanya. 

Laras tidak menoleh, tidak juga berhenti berjalan. Ia malah semakin merunduk dan berusaha cepat-cepat kabur. Ia mendengar suara langkah kaki –siapapun-itu- sedang mengejarnya, tapi Laras tak peduli, ia tidak berhenti. Hingga lengan seseorang merangkul pundaknya.

“Ya ampun, kamu sampai gak mau noleh ya aku panggil"

Ucap gadis yang rambutnya digelung dan senyumnya lebar, begitu berkilau seperti mentari. Mau tak mau Laras ikut tersenyum melihatnya.

“Kalau tahu kamu yang manggil aku bakal lari deh”

Sahut Laras sambil berusaha melepaskan diri dari rangkulan Annisa. Tapi Annisa malah tertawa lebar.

“Senang deh kamu menang lomba naskah tahun ini.
 Kenapa tidak ikut lomba dari dulu saja ? ”

Ucap Annisa yang kini berjalan beriringan dengan Laras, Laras merasa janggal dengan nada bicara temannya. Ia mengerutkan alis curiga. “Sebaiknya, kamu beritahu ann, apa maksud terselubung kamu”. Annisa tertawa lagi, kalimat Laras memang tepat sasaran.

“Apa? Aku hanya ingin menyapa kok”

“ Bohong ” Sela Laras kemudian, dan Annisa lagi-lagi
 tertawa.

“ Baiklah , karena kamu teman yang baik. ” Annisa mengambil jeda, Ia berusaha membaca mimik wajah Laras, sebelum akhirnya bicara diselingi cengiran lebarnya yang khas.

“ Kamu tahu kan, festival ini sangat penting untuk masa depan kita. Jelas kita tidak boleh melewatkan kesempatan langka ini”

“Sebaiknya kamu katakan intinya saja” Laras menyela lagi. Malas mendengar kalimat yan tidak berguna dari Annisa.

 Dan Annisa terbahak lagi.
“Jadi menurutmu apa yang akan di minta oleh seorang siswi teater saat temannya memenangkan lomba naskah?”

“Tidak sulit menebak, jika temannya itu akan membujuk agar si pemenang lomba naskah ini membocorkan naskahnya. Agar temannya mendapat petunjuk tetang karakter dan alur cerita dalam naskah. Dan memenangkan peran di malam puncak. Iya ‘kan ?”

Annisa berlagak takjub dengan jawaban Laras. Kini keduannya berhenti di tengah koridor menyulitkan orang-orang yang akan lewat di sekitar mereka.

“Kamu luar biasa” ucap Annisa berlagak terpukau. Sementara Laras mencibir.
“Kamu tahu? Kamu memiliki kemampuan. Jadi tanpa berbuat curang, kamu pasti menang”

Annisa belum sempat bicara, karena Laras menepuk pundaknya dan berkata, 

“S E M A N G A T ! ! !”

 sebelum akhirnya pergi. Annisa tidak menyerah, dia mengejar Laras tapi langkahnya terhenti saat sudah memasuki area gedung Sastra.

Memasuki kelas semuanya sama saja. Kemenangannya dan Randi masih menjadi topik utama. Terlebih teman-temannya terus-menerus memanggilnya sebagai pemenang.

“Jadi kapan keadaan kita akan normal?”
Tanya Laras kepada Randi yang duduk di belakangnya.

“Tahun depan, saat mereka memiliki pemenang yang baru” jawab Randi datar
Laras tidak percaya jawaban Randi, Ia memilih berbalik menghadap kedepan dan memulai pelajarannya.

🌙


Ini pertama kalinya Lucky datang ke kantin. Biasanya Ia memilih makan siang di luar sendirian karena Ia belum memiliki teman yang akrab dan langsung pulang setelah pelajarannya selesai. 

Namun kali ini Ia memiliki seorang teman yang mau repot-repot menariknya ke kantin setelah jam pelajarannya selesai. 

Ia bilang Lucky harus mengenal murid-murid populer di Artland dan menjalin pertemanan dengan mereka, karena kemampuan Lucky bermain piano cukup memukau, dengan menjalin pertemanan dengan murid-murid populer, Lucky akan terlihat menonjol dan orang-orang akan tahu kemampuannya. 

Terlebih di musim audisi yang akan di gelar, hal ini akan bagus sekali untuk masa depan Lucky. Apalagi jika bisa mendapatkan tempat di pementasan malam puncak saat Ia masih begitu baru.

Lucky sendiri tidak terlalu tertarik dengan gagasan itu, audisi bukan prioritasnya. Ia lebih suka memulai karirnya sendiri, akan lebih bebas dan bannyak pengalaman yang Ia ambil, meski resiko gagalnya pun lebih banyak.  

Tapi itulah kenapa Ia memilih Artland, karena kampus ini seperti legalisasi jika lulusan mereka akan layak tampil di depan umum. Dan Lucky akan menggunakan stempel Artland sebagai asuransi jikalau Ia terpaksa menggunakannya.

Sedangkan untuk urusan berteman dengan murid populer, Lucky yakin Ia memiliki seorang teman di kelas musik yang sangat populer, bernama Doddi Wibowo. Hanya saja Lucky dan Doddi beda kelas.
Dan kedatangan Lucky kesini murni untuk sekedar mengetahui, seperti apa murid populer di Artland.

“Lihat itu kumpulan anak teater, mereka terlihat akrab kan?. Sebenernya tidak. Kalau audisi sudah di mulai mereka benar-benar akan bertarung dengan sengit” ucap Aldi Mahendra yang sedari tadi bicara mengenalkan satu persatu kelompok di sepanjang jalan menuju kantin. 

Sementara Lucky tidak terlalu menanggapinya, Ia sibuk mencari Doddi, Ia yakin Doddi pasti berteman dengan murid populer lain disini.

Tapi tidak ada Doddi saat Aldi mengenalkan kumpulan siswa kelas musik yang duduk tidak jauh dari pintu masuk kantin.

 “Jadi dimana Doddi? Bukannya dia juga termasuk siswa cemerlang di kelas musik?” Tanya Lucky, Ia sudah cukup mengenal beberapa orang dari kelasnya dan mereka bersikap baik pada Lucky. Tapi Lucky terlalu segan untuk bergabung bersama mereka.

“Doddi?” Tanya Aldi menegaskan dan Lucky mengangguk pasti. “Dia beda, dia biasanya berkumpul dengan anak-anak diluar kelas musik. Semacam kumpulan siswa lintas jurusan”. 

Lucky mengerutkan kening mendengar jawaban Aldi. “Jadi lintas jurusan itu pertemanan macam apa?”. 

Aldi tertawa kecil, lalu Ia mengajak Lucky berjalan hampir mengitari separuh kantin untuk sampai di pojokan dekat tempat parkir. Kantin di pojok sini lebih terbuka, dan banyak pohon rimbun menjadikan kantin di pojokan ini lebih sejuk di banding di dalam sana tadi yang terkesan 'panas'.

Lucky melihat Doddy, Ia sedang tertawa bersama teman-temannya. Ada lima orang lain yang duduk satu meja dengan Doddi dan salah satunya adalah Laras. 

Laras sibuk dengan entah apapun yang ada di Laptopnya dan pria di sebelahnya entah siapa kadang ikut melihat apa yang ada di dalam Laptop Laras, seakan mengoreksinya. 

Meski pria itu tidak  sepenuhnya fokus pada Laras tapi Lucky yakin mereka berdua dekat. Atau mungkin semua orang di meja itu teman dekat, pikir Lucky sekali lagi.

“Ayo duduk sini, aku akan beritahu siapa mereka”

Lucky menurut saja saat Aldi mengajaknya duduk di meja dua kursi yang dapat untuk melihat sekumpulan murid populer itu dengan jelas.

“Itu Doddi, dari kelas kita. Dia memang berbeda, tidak terlalu suka bergabung dengan sesama siswa musik” 

Aldi mulai menjelaskan, tapi sepertinya setiap siswa disana memang berbeda “atau mereka semua berbeda ya?” Aldi seakan bertanya pada dirinya sendiri, Lucky hanya tersenyum sekilas dan kembali melihat Laras. Jelas setiap orang disana berbeda, batin Lucky.

“Tapi intinya mereka semua berkumpul karena memiliki kesamaan. Mereka enggan berteman dengan siswa sekelas karena percuma saja mereka akan saling menjatuhkan”

“Dengan berteman dengan siswa kelas lain, maka mereka akan terus berteman tanpa perlu berpura-pura baik. Karena mereka tidak akan bersaing dimanapun”. 

Kali ini Lucky mendengarkan baik-baik penjelasan Aldi. Konsep pertemanan lintas jurusan ini memang masuk akal, jika berteman dengan kelas yang sama mereka tidak akan benar-benar berteman. 

Meski Lucky baru di kampus ini, tapi Lucky sadar tingginya kadar persaingan di kampus ini. Lebih tinggi dibanding apa yang ada di pikirannya saat Ia belum kuliah disini.

“Disamping Doddi ada Gilang. Nama lengkapnya Gilang Sucipto kalau tidak salah. Ia dari kelas fotografi.” Aldi dan Lucky sama-sama tidak berpaling dari sekumpulan siswa itu, Lucky memastikan akan mendengarkan dengan seksama apapun yang dikatakan Aldi.

“Disebelah Gilang itu Olivia Charles dari kelas desain busana. Dia pernah merancang busana untuk salah satu Brand fesyen besar di Asia” Aldi diam sejenak, terlalu fokus pada Via, gadis dengan rambut sebahu yang begitu imut itu “Dia cantik dan sangat periang”. Lucky menoleh merasa janggal dengan kalimat Aldi.

“Sepertinya ada bau cinta disekitar sini” gurau Lucky. Dan Aldi tampak salah tingkah sebelum melanjutkan kembali penjelasannya.

“Disamping Via itu Renata Putri, cantik juga ya?” Aldi melirik sebentar ke arah Lucky, ingin tahu bagaimana reaksi Lucky. Tapi wajahnya datar, sepertinya Ia tidak terlalu tertarik dengan Renata.

“Renata dari kelas tari, dia cantik. Kecuali sifatnya yang sering memberi harapan palsu” cengir Aldi hambar.

 “Dan disebelah Renata itu ada Randi. Randi Rahardi”. Ini yang di tunggu Lucky, Ia memastikan akan mendengarkan dengan sangat detail di bagian ini. Tapi ketika Aldi menyebut nama Randi, nama itu tidak asing akhi-akhir ini.

“Dia dari kelas sastra, sama seperti Laras, Marissa Larasati yang duduk di sampingnya”

“Mereka pemenang lomba naskah tahun ini kan?”

“Yap!” jawab Aldi bersemangat “Mereka berdua luar biasa terkenal akhir-akhir ini”

“Mereka kelihatan begitu dekat”

“Mereka berdua memang dekat, Laras dan Randi sudah begitu sejak dulu. Lihat saja sampai mengikuti lomba naskah saja mereka berkolaborasi. Padahal sebelumnya mereka tak pernah ikut lomba apapun”

“Dan mereka semua bisa berkumpul begini ya karena Laras. Ia seperti magnet dan memiliki banyak teman dari berbagai kelas. Salah satu siswa dari kelas teater tadi yang kita lewati adalah teman dekatnya juga, namanya Annisa”

Lucky tampak menganggukan kepalanya, meski matanya tidak perbaling dari Laras.

“Laras itu cantik” ucap Aldi tapi Ia sadar jika semua gadis disana ia bilang cantik, lantas ia meralat kalimatnya “Maksudku, dia lebih cantik dari yang lain. Bahkan dari Via, hanya saja ia terlalu sederhana”. 

Lucky sedikit keberatan saat Aldi memuji Laras
 “Sebaiknya aku mentraktirmu minuman karena telah berusah payah menjelaskannya padaku” ucap Lucky Ia beranjak dari duduknya. 

Aldi tampak sumringah “Wah… terimakasih bro!” Luckypun berlalu menuju ke konter makanan.

Sore seperti ini kantin cukup sepi, banyak bangku kosong. Mungkin suasananya akan berbeda jika Lucky datang kesini pada jam makan siang, pasti akan ramai.
Bangku akan penuh dan konter makanan pasti antri. 

Lucky masih antri di konter untuk menunggu minumannya, saat samar-samar suara obrolan dan tawa semakin dekat hingga ada di belakangnya. Ketika Lucky menoleh disamping, itu Doddy dengan Laras di belakangnya.

“Wah… Lucky!” sapa Doddi bersemangat. “Hai!” jawab Lucky tampak canggung. Laraspun melihat Lucky, dan mereka berdua tersenyum bersamaan. “Aku baru lihat kamu kesini” ucap Doddi 

“Iya,  tadi di ajak sama Aldi” Lucky menunjuk dagunya ke arah Aldi yang sepertinya sedang menulis pesan di handphonenya

“Kamu kenal sama dia?” tanya Laras kepada Lucky, sementara tangannya menunjuk Doddi. Lucky tersenyum tipis dan mengangguk. “Maaf ya kalau Doddi sedikit jahat, punya teman baru tapi tidak di ajak main”. Laras terdengar sangat polos dengan kalimatnya.

“Kamu sendiri kenal sama dia?” Kali ini Doddi bertanya pad Laras. “Kenal” Laras mengangguk-anggukan kepalanya “Namanya Lucky kan, Lucky Hermawan. Anak baru di kelas kamu” sambung Laras

“Kamu tahu dari mana?” Doddi yang berada di tengah-tengah antra Lucky dan Laras menoleh pada keduannya secara bergantian.

“Aku pasti orang pertamanya yang di ajak bicara di kampus ini kan?” Laras mengedarkan pandangannya dari Doddi ke Lucky. Hingga Laras dan Doddi kini mentap Lucky bersamaan.

Lucky bingung sejenak, hingga akhirnya ia mengiyakan “Iya, aku menolongnya memungut sketsa temannya yang jatuh”

Doddi tidak mengerti, kini Ia menoleh ke arah Laras.

“Ifana, ” jawab Laras lembut. Dan sekarang Doddi tampak mengerti. Meski ia tidak tahu apa yang terjadi pada Ifana. Tapi Doddi tidak terlalu ingin tahu, karena Ifana memang sering sekali menjadi korban kejahilan orang-orang.

Pesanan Lucky siap, ia membawa dua gelas jus jeruk di tangannya. Kini gantian Doddi yang memesan. Sementara Lucky dan Laras mengobrol.

“Kamu pasti akan terbiasa. Belajar disini cukup menyenangkan kan?” tanya Laras. Lucky masih tampak canggung, tapi dia menganguk.

“Iya, aku jadi tahu lebih banyak tekhnik, padahal aku baru seminggu disini”

“Beda kelas ya sama Doddi?”

Lucky hanya mengangguk.

“Kebetulan ini musim audisi, jadi kamu pun dapat langsung berpartisipasi dan …” Laras belum menyelesaikan kalimatnya saat Doddi menyela

“Randi mau minum apa ras??”
 tanya Doddi yang memesankan minum untuk mereka semua.

“Dia minum apapun asal jangan kopi dod” Jawab Laras tanpa menoleh, tapi kemudian ingat jika Randi menyukai jambu, jadi Laras kembali bicara pada Doddi. 
“Sebaiknya jus jambu. Dia suka jambu, dari pada kamu membelikannya softdrink” Doddi hanya mengangguk atas instruksi Laras.

Sementara Lucky sedikit heran, Laras seolah sangat mengerti Randi

“Jadi kamu mau ikut audisi kan?”

Kalimat Laras untuknya membuyarkan rasa tidak enaknya, “Sepertinya tidak, aku tidak terlalu tertarik dengan audisi”

Laras sedikit heran dan bertanya kenapa “Itukan bisa menjadi jalan pintas mu di kampus ini”. Lucky tertawa ringan, “aku lebih suka memulai sendiri”
Laras tampak mengangguk, “Lebih bebas tanpa tuntutan lebih tepatnya”.
 Dan kini Laras tampak mengerti.

Pesanan Doddi sudah selesai, Laras membawa dua gelas, Doddi dua gelas dan sisanya siap diantar oleh penjaga konter makanan. Doddi dan Laraspun segera kembali. 

Sebelum berpisah dengan Lucky, Doddi berjanji akan sering menemuinya di kelas musik dan akan membantunya jika Ia memiliki kesulitan, begitupun Laras. Mereka bertiga berpisah dan kembali ke meja masing-masing.

Lucky kembali ke mejanya di sambut oleh antusias Aldi. “Kamu mengenal mereka? Kamu mengenal Doddi dan Laras ??”.

“Doddi temanku” jawab Lucky singkat dan mnyeruput minumannya.

“Kamu berteman dengan Doddi? Kenapa tidak  bilang?”

“Ku pikir itu tidak penting” jawab Lucky asal.

“Penting bro, kalau kamu sudah berteman dengan siswa populer berarti kamu juga populer.” Ucap Aldi bersemangat sambil minum dengan terburu-buru “popularitas yang akan mengantakanmu ke level lebih tinggi, dan membuat skill mu semakin di acungi jempol”. Lucky hanya tertawa tidak tertarik.

“untung saja aku sudah mengambil foto kalian bertiga”

Lucky terbatuk dan melotot pada Aldi “untuk apa kau mengambil foto itu?”. Lucky tampak panik, tapi Aldi hanya terbahak.

“kau akan membutuhkannya suatu hari nanti, saat kau memikirkan karir mu” tapi Lucky hanya menggeleng tidak terarik. 
Menurutnya, Ia akan di pandang karena skill nya, bukan karena ia berteman dengan murid populer.

“Tapi gadis itu … Laras” Nada bicara Aldi yang serius membuat Lucky menoleh ke arahnya. “Kamu harus berhati-hati”, Lucky mengerutkan keningnya, bingung.

“Kau tahu, jika semua orang di meja itu bukan orang sembarangan. Yang bergabung disana sudah pasti memiliki kemampuan yang lebih baik dari murid-murid  lainnya”

“Anak baru sepertimu yang belum terlalu terlihat kemampuannya, akan menjadi korban bullying yang empuk. Mereka akan berfikir kau dengan curang menarik perhatian mereka” Aldi berhenti dan mencoba membaca raut wajah Lucky yang tampak bingung.

 “Kamu tidak usah khawatir, aku tahu kemampuan mu. Permainan piano mu bagus. Jadi kau pasti akan di terima dengan mudah, dan lagi … ”. Aldi menghentikan kembali kalimatnya, membuat Lucky menoleh lagi padanya dengan tanda tanya di wajahnya.

“Kamu cukup tampan, sekali keluar kandang, kamu pasti akan menjadi pujaan banyak gadis disini”

Dan untuk kalimat terakhir yang di ucapkan Aldi, Lucky mengapresiasi itu dan dia tertawa.

Lucky masih disana mendengarkan mulut besar Aldi. Ia tahu jika Aldi orang yang tulus, itu kenapa Lucky tinggal lebih lama di sana. 

Dan lagi Laras dan teman-temannya belum beranjak dari sana.
Lucky terpaksa pergi lebih dulu, karena ibunya menelpon. Khawatir karena tidak biasanya Lucky pulang terlambat. 

Aldi dan Lucky akhirnya meninggalkan kantin lebih dulu. Lucky menoleh ke arah Laras, tapi sepertinya Laras terlalu sibuk dengan apapun yang sedang mereka bicarakan. Hingga Lucky sepenuhnya berlalu.

🌙

Laras dan kawan-kawannya baru beranjak dari kantin pukul lima sore. Saat langit sudah mulai redup dan udara menjadi begitu sejuk. Mereka masih ramai seperti biasanya. 

Randi berjalan paling depan dengan Doddi, Gilang sibuk dengan handphonenya dan Laras sedang di rayu oleh teman-teman wanitanya.

“Ayo donk ras, ikut kita beli gaun untuk pesta” rengek Via sementara Renata yang merangkul tangannya mengangguk setuju.

Laras hanya tertawa dan menggeleng “Aku tidak bisa sore ini. aku harus bekerja.”

“Ya ampun, Rizal itu cinta mati padamu. Jangankan bolos kerja, kamu minta apapun pasti akan dituruti” ucap Renata dan Via gantian menganggukan kepalanya membenarkan.

“Ayo donk, ini kan jum’at malam. Berani taruhan Rizal pasti lebih suka ikut kita belanja di banding mengurus restorannya” Lanjut Via licik, seakan keluar dua tanduk jahat di kepalanya

“Apa si yang ribut banget?

Ucap Gilang yang gregetan dengan tingkah anak perempuan setiap ada pesta. Mereka pasti akan ribut soal gaun dan segala perlengkapan yang menurut Gilang terlalu merepotkan.

“Kamu gak boleh begitu tahu lang,” kini Renata ambil bagian, dia menarik Gilang dan membuat Laras dan Via ikut berhenti menyaksikan. Doddi dan Randi yang sudah jalan duluan pun ikut berhenti dan berbalik menoleh. Gilang yang tangannya di cengkram oleh Renata hanya menahan tawa.

“Kamu suka ‘kan jika perempuan terlihat anggun, cantik, manis?” tanya Renata dengan nada tegas namun keibuan.

“Yaah… tentu saja aku suka” Gilang tahu kemana arah pembicaraan Renata. “Kalau begitu kamu gak boleh sebel, saat kami, para perempuan ribut soal penampilan. Penampilan kita ‘kan untuk menyenangkan anak lelaki”. 

Mendengar kalimat itu, sontak tawa mereka di sekeliling Renata pecah. Kalimat yang digunakan Renata terdengar sangat parah ditelinga teman-temannya.

“Kok ketawa? Tapi bener ‘kan?” Renata melepas tangan Gilang dan berputar melihat teman-temannya yang sedang menertawakannya, mencari pembelaan. “Bener ‘kan ras ? bener ‘kan rand?”. Sementara Laras dan Randi bahkan belum berhenti tertawa.

“Kamu benar, tapi apa kalimat kamu tidak ada yang lebih baik dari –menyenangkan anak lelaki?-”

Mendengar jawaban Gilang, kini Renata ikut tertawa. Sadar jika kalimatnya terdengar terlalu polos.

Mereka masih tertawa saat seorang gadis yang terlihat mirip ifana dalam versi yang lain, datang dan menyapa mereka.

“Selamat sore.” Ucap gadis itu canggung, dia membawa berkas ditangan. Rambutnya sebahu digerai dan terlihat kusam, dan badannya juga tidak terlalu tinggi. Tapi kulitnya yang kuning langsat, menolong penampilannya sore ini. 

Gilang dan teman-temannya berhenti tertawa dan menunggu apa yang akan di ucapkan gadis ini.

Cukup lama, gadis ini terlihat sangat malu. Ia tertunduk dan meremas-remas berkasnya cemas. Hingga Ia mulai bicara,

“Nama saya Malika dari kelas sastra. Saya ingin meminta Laras dan Randi, sekiranya berkenan untuk saya wawancara sebagai pemenang tahun ini” ucap Malika dengan satu tarikan nafas. Dia sangat cemas, tangannya tidak berhenti meremas-remas berkas dan menundukkan wajahnya.

Hening, sadar tidak ada yang menanggapi gadis ini, akhirnya Laras angkat bicara “Kapan wawancaranya?”

Belum sempat Malika menjawab, Via sudah lebih dulu memotong kalimat Malika.
“Jangan sekarang, kami sibuk” ucap Via acuh

“Jadi kapan?” kali ini Randi yang bertanya. Malika makin cemas, Ia menjawab terbata “Bbbe..sok kalau kalian punya waktu”

“lihat besok saja ya?” tanya Gilang, tapi Malika masih menunduk saja, dia sangat-sangat merasa tertekan berada didepan mereka.

“Ayo pulang. Kita banyak urusan” kali ini Renata yang mulai bertingkah menyebalkan. Dan Laras melerai,

“Renata…”

Renata tidak menghiraukan Laras, dia menarik Gilang pergi. Dan Gilangpun ikut pergi tanpa merasa bersalah. Doddi mengikuti, meski Randi masih diam menunggu Laras. Karena Laras belum beranjak saat Via mengajaknya pergi.

“Maafkan teman-temanku ya. Aku tahu artikel ini pasti penting untuk mu. Jadi akan ku usahakan oke?”

Malika tampak mengangguk mendengar kalimat Laras. Ia bahkan hampir menangis, matanya mulai perih.

“Aku akan membujuk Randi juga” sambung Laras. Randi mendengar kalimat Laras tapi memilih terima saja dengan apapun yang akan di katakan Laras. 

“Baiklah, sebaiknya kau pulang. Akupun akan segera pulang” tapi Malika masih hanya mengangguk saja.

Randi tidak sabar dan mulai memanggil Laras, “Ayo ras” Laras menoleh dan mengangguk. Saat itu Malika mengangkat kepalanya dan Laras tahu jika Malika akan menangis.

“Terimakasih, ini sangat berarti bagiku” ucapnya sendu. Laras hanya mengangguk mengerti, dan kemudian melangkah meninggalkan Malika.



"Jahatnya kalian tadi,"
Ucap Laras mendramatisir, begitu Ia dan teman-temannya sampai ditempat parkir. Gilang yang sudah membuka pintu akan menaiki mobilnya urung, karena mendengar kalimat Laras.

"Gadis itu sekelas sama kamu kan?"
Via bertanya pada Laras. Sementara Laras mengingat-ingat, jumlah murid dikelasnya tidak lebih dari 15 orang. Dan Ia yakin tidak ada yang bernama Malika atau satu orangpun yang tampak menyedihkan seperti dia.

"Kita beda kelas" Jawab Randi singkat, padat dan tegas. Membuat Via hanya dapat ber "oh"

"Kamu kenal?" Kini Laras antusias pada Randi.

"Tidak" hanya itu yang keluar dari mulut Randi dan itu tidak membantu sama sekali.

"Tapi tahu?" Kini giliran Renata menodong Randi.

"Siapa si yang gak tau dia, kelasku yang di ujung dunia aja tahu" Sahut Doddi

"Aku gak tahu dod, sumpah!" Jawab Laras jujur. Sementara teman-temannya tampak tertawa tidak percaya. "Kamu ngapain aja sih tiga tahun ras ?" Tanya Gilang.

Sementara Laras semakin bingung.

"Duh, ayo tokonya keburu tutup!" Rengek Renata. 

"Jawab dulu itu pertanyaan teman baik kamu" Sindir Gilang, karena lagi-lagi Renata sudah bergelayut ditangannya.

"Aku lagi gak bernafsu jadi teman baiknya Laras. Dia gak mau di ajak main" Ucap Renata memberi tatapan sebal pada Laras. "Lagipula aku capek latihan terus. Jawab pertanyaan Laras menguras tenaga aja!" 

Laras tertawa mendengar rengekan Renata. Dia membuat ekspresi wajah memelas dan menangkupkan kedua tangannya seolah minta maaf.


Renata memang seperti itu. Dia suka merajuk tanpa pernah benar-benar marah. Malah pernah dia punya masalah dengan Via, mereka berdebat. Memang kondisi mereka sedang sama-sama lelah waktu itu. Renata sibuk latihan untuk pentas dan Via juga sedang sibuk mempersiapkan pentas busana. Masalah kecil yang membuat mereka berdebat dan tak saling bicara sampai seminggu. 

Tapi begitu ingat Via akan mengadakan pentas di Singapura, Renata tanpa pikir panjang terbang ke Singapura dan menghadiri acara tersebut dan memberi dukungan. Setelah itu, dapat ditebak. Kedua sahabat itu berakhir dengan nangis 'bombay'.

"Toko baju model apa yang tutup hari gini?" Tanya Doddi apa adanya, yang tampak gagal paham pada Renata.

"Sudah Ayo! Kita pulang" ajak Via menarik tangan Laras, karena biasanya Laras akan pulang dengan Via.

Tapi langkah Laras tertahan karena seseorang menarik tas dipunggungnya. Membuat Via juga ikut menoleh. 

"Dia pulang denganku hari ini" Ucap Randi pada Via dingin dan tanpa dosa sama sekali. Dan sekejap Via melepaskan Laras. 

"Oh oke. Silahkan kau bawa pulang" Ucap Via kini mendorong Laras mendekat ke arah Randi. Via tidak tahu apapun tentang hubungan apa yang sebenarnya dimiliki oleh Randi dan Laras. Tapi Via cukup paham untuk tidak menjadi penghalang jika memang ada cinta diantara kedua orang itu, Via berjanji akan mendukungnya.


***


"Jadi kau tahu Malika?" Tanya Laras masih penasaran. Saat ia sudah berada di mobil dengan Randi. Laras tidak punya mobil, rutinitasnya setiap sore saat pulang adalah nebeng mobil teman-temannya.

"Kamu lagi bercanda ya?" Randi mengangkat alisnya heran, lalu menyalakan mobilnya "Atau memang bodoh?" Lanjut Randi karena Laras tak mengatakan apapun selain memberi ekspresi bingung.

Tapi Laras tidak terima dia memukul pundak Randi hingga Randi meringis. "Aku gak tahu woy!" Ucapnya keras.

"Dia itu penulis majalah Artland." Jawaban Randi membuat Laras melongo. "Oh dia ingin mewancari kita untuk majalah Artland?" Laras mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri. Dia baru mengerti. 

Laras hanya membaca majalah itu hanya jika artikel teman-temannya dimuat dalam majalah itu. Tanpa pernah ingin tahu siapa dibalik tulisan-tulisan itu.

"Jadi dia yang mewawancarai Via juga waktu itu? Gilang juga?"

"Memangnya, penulis artikel di Majalah itu hanya Malika?" mendengar kalimat Randi, membuat Laras berfikir, tidak mungkin Malika adalah satu-satunya.

"Dia mewawancari Via tapi yang mewawancari Gilang adalah orang yang berbeda" Randi menggelengkan kepalanya "Kamu beneran ngapain aja sih tiga tahun ras?"

Laras tertawa, dia memang agak tidak terlalu peduli tentang hal-hal seperti itu. "Ngabisin uang kakek aja sih kalau aku" Jawab Laras dengan cengir tanpa dosa.

"Jadi nanti artikel kita akan di muat?" Tanya Laras seolah baru sadar sesuatu dan Randi mengangguk membenarkan. Laras semakin antusias, "Kita jadi cover majalah itu ? Seperti Via dan Gilang?"

"Ngawur! mereka jadi cover karena menang lomba tingkat Asia. Kita baru menang tingkat RT!" Jawab Randi spontan dengan sedikit gregetan. Tapi Laras justru tertawa semakin kencang.

Randi tidak mengantarnya pulang, Ia mengantarkan Laras ke Restoran tempatnya bekerja. Restoran itu hanya berjarak beberapa blok dari Flat tempat tinggal Laras.

Laras bekerja paruh waktu meski Ia tak benar-benar membutuhkan uang. Kakaknya selalu mengirimkan uang yang lebih dari cukup untuk keperluannya. Laras hanya melakukan ini sebagai aktifitas, tapi lama kelamaan Ia menyukainya.

Bekerja, Kuliah, memiliki kesibukan membuatnya merasa lebih berarti dan lebih normal. Ia suka pekerjaanya, Ia suka kampusnya dan Ia suka teman-temannya. Ia menyukai kehidupannya yang sekarang.

***

________________________________________________

NEXT : MOONLIGHT Eps.4 >>

<< PREVIOUS : MOONLIGHT Eps.2

_________________________________________________


Judul : MOONLIGHT
Oleh : XXXRERAIN
Keterangan : Cerbung
Ganre : Fantasy, Romance,
Update : Sabtu

Comments

Popular Posts