MOONLIGHT [EP.4]

MOONLIGHT

CERBUNG MOONLIGHT OLEH RENY MUSTIASIH


[EP.4]



Sudah hampir tengah malam, Restoran tempat Laras bekerja sudah separuh gelap. Tapi Laras belum pulang. Karena teman dekat Rizal dari Korea berkunjung ke Restoran itu. Mereka mengobrol hingga lupa waktu.

"Mereka mau pulang jam berapa nih," Ucap Perempuan teman kerja Laras yang sudah tampak lelah. Biasanya Restoran ini sudah tutup sejak pukul sebelas dan mereka bisa pulang setengah jam kemudian.

Hanya tinggal Laras, Anggi dan dua teman lainnya yang belum pulang. Karena mereka biasanya harus mengepel dan membersihkan meja. Sementara dapur sudah rapi.

"Kalian pulang aja dulu gih, nanti biar sisanya aku yang bersihin. Kalian sudah bekerja dari siang" Ucap Laras tidak tega melihat teman-temannya.

"Gak lah. Bentar lagi juga mereka pulang" Sahut Bayu disisi lain. Anggi dan Rio yang sedari tadi diam, tampak tak keberatan.

"Beneran, kalian gak mau pulang duluan?. Orang korea kalo sedang ngobrol bisa sampai pagi lho"

Canda Laras, dia menakut-nakuti teman-temannya, dan sukses membuat mereka kaget.

"Ah, beneran?" Tanya Bayu takut, sementara Laras mengangguk pasti.

"Kita gak apa-apa pulang duluan?" Tanya Rio.

"Iya gak apa-apa, lagian kan udah rapi semua"

"Kamu sendirian dong ras" Anggi tampak kasihan pada Laras.

"Nanti Rizal aku suruh ngepel" Gurau Laras. Anggi tersenyum, mereka tidak akan meragukan jika Laras bisa membuat Rizal mengepel lantai.

Semua orang tahu, Laras bukan pekerja biasa. Dia teman baik Rizal, dan Rizalpun memperlakukannya dengan Istimewa. Rizal mengatakan, jika mereka tak boleh menyamakan Laras dengan mereka. Mereka bekerja sementara Laras hanya belajar disini.

Tapi sikap Laras yang bersungguh-sungguh membuat para pegawai lain semakin menyukainya. Laras tak pernah seenaknya, apapun yang dikatakan Rizal, dia tetep bersikukuh jika dia juga bekerja disini.

Akhirnya teman-temannya pulang, Laras meninggalkan dapur, mengecek peralatannya sekali lagi sebelum memutus aliran listrik di dapur. Ia pindah, duduk di bangku pelanggan yang cukup terpojok.

Cukup gelap, tapi Rizal dapat melihat siluet Laras yang duduk dan memandang jendela, sebelum kemudian dia mengeluarkan Handphonenya.

Laras melihat handphone nya dan melihat banyak pesan di grup chatting bersama teman-temannya. Renata dan Via urung membeli gaun karena Laras tidak ikut, sementara teman-teman Prianya sibuk menggoda.

"Hei," 

Laras sedikit terkejut saat melihat Rizal didepannya. Suasananya cukup remang, tapi masih tidak bisa menyembunyikan wajah tampan Rizal.

"Eh? yang lain sudah pulang, aku yang menyuruhnya" 

"Tak apa, ayo... temanku akan pamit pulang" Ajak Rizal, "Oh, oke" Laras menutup handphone miliknya dan memasukkan ke dalam tas. Dan mengikuti Rizal yang mendahului langkahnya menuju meja tamunya.

Teman Rizal yang berkunjung adalah sepasang pengantin baru dari Korea. Mereka berlibur ke  Bali dan Rizal memaksa mereka untuk berkunjung. Ini adalah hari pertama dan terakhir mereka di Tanah Air dalam kunjungan mereka kali ini, sebelum terbang kembali ke Korea Selatan besok.

"Ini teman adikku, Laras" Rizal memperkenalkan Laras pada kedua temannya dalam bahasa inggris. Mereka tampak antusias. "Panggil dia Lee dan Istrinya Yuna," kini gantian Rizal mengenalkan mereka pada Laras dalam bahasa indonesia.

Laras menjabat tangan kedua orang itu dan mengucapkan salam, senang bertemu dengan kalian.

"Ini adik teman mu yang bekerja disini?" tanya Lee dalam bahasa inggris namun tetap terasa aksen koreanya yang khas. Rizal tampak mengangguk dan menahan senyumnya.

"Aigoo, bagaimana bisa ya, kau memperkerjakan adik teman mu sebagai pelayan. Kau bilang kalian teman baik"

Laras dan Rizal tertawa, juga Yuna.

"Aish... Rizal ya!" Lee menggelengkan kepalanya berlagak heran. Tapi Rizal tak menjawab apapun, dia hanya tersenyum.

"Ya, Laras. kamu bisa bekerja ditempatku jika kau mau. Aku akan memberikan kartu namaku, kau tidak akan menjadi pelayan seperti disini"

Kini Lee bicara pada Laras, tapi Laras juga hanya mengangguk dan tertawa.

"Ya, ini tak lucu", Lee tampak melihat Istrinya sekilas, "Oh, atau kau mau bekerja di salon. Yuna mempunyai salon yang besar di Seoul" Laras kembali tersenyum mendengar kalimat Lee

"Ya, kulitmu bagus dan tubuhmu proposional, kau bisa menjadi model" Kini Yuna menimpali. Dan Rizal kembali ikut tertawa.

"Berhentilah menggoda pegawaiku, dia betah kerja disini" Jawab Rizal. Tapi Lee langsung memperlihatkan wajah sangat tak percaya. "Aisshh, tidak mungkin ya Rizal. Tak mungkin" sahut Lee dan mereka tertawa lagi.

"Ayo sudah larut, Nona Laras juga butuh Istirahat" ucap Yuna lembut mengajak suaminya pulang, "Jika kita tetap disini, Rizal tak akan membiarkannya pulang". Lanjut Yuna.

Laras dan Rizal mengantar mereka hingga ke mobil yang di sewa oleh Lee dan Yuna, tampak  seorang supir telah menunggu mereka.

"Ya, Laras, aku serius. Kau harus menghubungiku jika sudah bosan jadi pelayan" Ucap Lee sebelum masuk ke mobilnya. Laras hanya tertawa lagi.

"Rizal, terimakasih telah mamaksa ku kesini" Ucap Lee merangkul Rizal.

"Kapanpun, kau harus selalu mampir kesini" Sahut Rizal saat melepaskan rangkulan Lee. Lee tampak mengangguk, "Pasti, Pasti".

Sementara Yuna pamit dengan Rizal, Lee menjabat tangan Laras sekali lagi, "Senang bertemu denganmu Nona Laras, kita harus berbincang-bincang lagi nanti" Ucap Lee, sementara Laras menganggukan kepalanya dan berkata "Terimakasih tuan, senang bertemu dengan anda juga"

"Kapan-kapan ajaklah pegawaimu berkunjung ke Korea" Timpal Yuna, saat sudah berpamitan dengan Rizal. Rizal hanya kembali tertawa sementara Yuna memeluk Laras.

"Berkunjunglah ke Korea dengan Rizal. Dia akan senang sekali jika kau mau ikut" Ucap Yuna saat pamit dengan Laras. Lagi-lagi, Laras hanya bisa mengangguk dan berkata terimakasih. Hingga akhirnya kedua orang itu benar-benar pergi.

"Ayokita pulang!" ajak Rizal saat tamunya menghilang dari pandangan.

"Aku beresin meja dalam dulu sebentar" Jawab Laras cepat, tapi lagi-lagi tas nya di tarik. "Besok saja" ucap Rizal dan menariknya pergi.

Rizal menyuruh petugas keamaan untuk mengunci Restoran dan mengecek kembali keamaan sebelum menarik Laras masuk ke mobilnya. Ada dua mobil milik Rizal yang diparkir disini, sebuah sedan Mercedes dan Jeep Rubicon, yang kadang dipinjam oleh Laras. Rizal menariknya menuju mobil sedannya.

Mungkin hanya butuh 5 menit menggunakan mobil dari restoran milik Rizal ke tempat tinggal milik Laras. Rizal biasa mengantar Laras hingga gerbang Flat tempat tinggalnya dan menunggu Laras masuk ke kamar dan menyalakan Lampunya.

"Aku tunggu hingga kau menyalakan Lampu" Ucap Rizal lembut, dibalas senyuman oleh Laras dan dia menjawab, "Oke," Sebelum keluar dari dalam mobil.

Laras meninggalkan mobilnya dan Rizal memperhatikan gadis itu dari belakang, dia menggendong tas dengan sebelah bahunya. Melihat Laras telah sampai di Pos Satpam, Rizal membuka jendela Mobilnya.

Dia melihat Laras berhenti dan berbicara sebentar dengan Satpam yang sedang berjaga, mereka terlihat akrab. Dan Rizal merasa sedikit pusing, melihat Laras cepat sekali akrab dengan siapapun. Laras pergi, dan Satpam Penjaga kini melihat ke arah Rizal, dia tersenyum dan melambaikan tangan.

Rizal membalas senyuman dan melambaikan tangan, dia mengenal para penjaga yang biasa bertugas. Rizal akan mengenal siapapun untuk menjaga Laras. Rizal dan Laras sudah saling mengenal sejak mereka kecil, rumah dulu mereka bertetangga. Saat Laras rewel, biasanya Kakaknya, Nic, akan mengajak Laras ikut bermain bersama.

Sekarang, tidak terasa waktu sangat cepat berlalu, gadis cengeng itu berubah menjadi seperti tiang batu yang berdiri sendiri dan sangat menawan. 

Rizal sering kehilangan kata-katanya sendiri, jika sudah berhadapan dengan Laras. Apa yang telah mereka lewati dan mereka jalani sekarang amat sangat berbeda, bahkan diluar dugaan. Mereka tak pernah membayangkan bagaimana kehidupan membawa mereka menyelam begitu dalam. 

Dan Rizal tak bisa memandang Laras dengan cara yang sama seperti dulu. Rizal tak pernah bisa melihat Laras dengan cara yang sama lagi.

Ketika lampu kamar Laras menyala dan gadis itu melambaikan tangan dari jendela kamarnya, Rizal menyalakan mobilnya dan pergi.

🌙

Pagi di hari sabtu yang damai dan cerah menjadi sangat ribut karena tidur nyenyak Laras diganggu oleh telpon dari Kakaknya. Laras mengeluh saat handphone sialan itu tak berhenti menjerit. Dan memaki kakaknya sebagai salam pertamanya.

Nic sudah terbiasa, Nic sering bilang beginilah cara mereka saling mengasihi, yakni dengan menganggu satu sama lain. Tapi seburuk apapun kelakuan mereka, Nic adalah orang pertama yang akan ada disamping Laras sejauh apapun jarak mereka. Dan Laras adalah orang pertama yang akan memperhatikan Nic meski mereka tak bersama-sama.

"Kau akan cepat mati jika bangun siang" Desis Nic di ujung telpon. "Oh, ayolah ini sabtu pagi yang selalu aku nantikan dalam seminggu. Kau tak perlu menelpon untuk mengacaukannya!" sahut Laras.

"Kau terdengar seolah sudah bekerja keras selama seminggu ini" Ledek Nic lagi.

Laras membalikkan badan dan mengubah posisi tidurnya, dia tak bisa tidur lagi sekarang, "Tentu, aku adalah seorang mahasiswa teladan yang harus bekerja untuk menyambung hidup",

Nic menahan tawanya, geli mendengar adiknya bersandiwara, "Tidak seperti kau. Yang memiliki banyak pelayan, dan selalu ada pesta diakhir pekan" Lanjut Laras.

"Kalau begitu, kenapa kau tak bekerja denganku saja. Kau bisa menjadi orang yang mengurus barang-barangku dan ikut kemanapun aku pergi" sambar Nic.

"Tidak terimakasih, aku tidak ingin sama rusaknya dengan mu" Cibir Laras, dan Nic balas dengsn mengumpat.

"Jadi apa Kakek baik-baik saja?" tanya Laras saat permbicaraan mereka sudah normal.

"Ya, dia cukup baik. Dia makan dan istirahat teratur dan selalu pulang kerumah. Dan dia terlihat kembali muda, saat tahu cucu perempuannya menang lomba naskah"

Dan Laras kaget, dia bahkan belum memberi tahu Nic, "Sial, dari mana kau tahu?!" Ucap Laras berulang-ulang, tapi Nic tak peduli. Dia tetap bicara seakan sedang bercerita.

"Aku pikir gadis itu tak memikirkan masa depannya, tapi aku bersyukur uang yang aku kirim tak sia-sia. Kau tahu?, biaya kuliah di Universitas itu cukup mahal"

"Sial, kau tahu dari mana?!"

"Tapi kabar baik itu membuatku jadi enak makan juga dan bahagia, sepertinya hari ini udara akan jadi cukup hangat"

Lanjut Nic, sementara Laras mengeluh kesal. Hingga akhirnya Nic terbahak.

"Sayang, kaki ku memang cuma dua. Tapi mata dan telingaku ada dimana-mana" Goda Nic.

"Kau pasti tahu dari Rizal kan. Aku tidak heran" Jawab Laras berpura-pura tidak tertarik.

"Rizal?. Kau boleh tanyakan padanya. Mungkin dia akan segera mengajakmu membeli gaun untuk pesta, karena dia juga pastinya terkejut"

Laras sontak bangun dari tidurnya, kaget. Tapi dia harus terus berusaha seakan tidak percaya.

"Ayolah, siapa lagi yang mau kau bayar hanya untuk mengawasiku" Ucap Laras percaya diri. "Karena Rizal sama gilanya dengan mu, hanya dia yang akan membantumu"

"Apa menurutmu Rizal adalah orang yang membutuhkan uang?" tanya Nic.

Jika melihat gaya hidupnya, Rizal tidak butuh uang, pikir Laras.

"Uangku tak akan cukup untuk membayar pengusaha muda itu" lanjut Nic kembali mengejek. "Hanya karena ada kau disana, Rizal rela berada di restoran setiap sore. Kau tahu, dia cukup sibuk sebenarnya"

Laras sudah tak bisa lebih kesal lagi dari ini, Nic selalu lebih baik darinya dalam hal apapun. Bahkan untuk urusan remeh begini, Nic selalu menang.

"Oke, oke terserah. Aku tak peduli jika kau menyewa agen intelejen untuk mengawasiku. aku sungguh tak peduli" jawab Laras kesal. Dan itu justru membuat Nic semakin senang dan terbahak di ujung sana.

"Pokoknya aku senang selama kau senang, ini perubahan baru darimu jadi aku agak terlalu senang sekarang. aku tidak peduli nilaimu, prestasimu, atau apapun, asal kau baik-baik saja" Ucap Nic serius, dan Laras dapat merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan kakaknya.

"Yang penting jangan kau rusak tubuh dan wajahmu, itu adalah aset penting masa depanmu karena kamu bodoh banyak hal" dan kalimat itu sukses membuat Laras mengamuk lagi. Tapi Nic hanya tertawa.

"Oke, oke kau yang terbaik" Nic mengalah, "Dan gaun, kau tak perlu membelinya, aku akan mengirimkannya untukmu. dan kau harus mengenakannya" Laras hanya membalas kalimat Nic dengan malas.

"Yaaa... Yaaa"

"Aku serius, aku akan tahu jika kau tak mengenakannya" ancam Nic, hingga akhirnya Laras hanya bisa bersikap manis dan mengiyakan kata-kata Nic.

🌙

Sebagai pelayan restoran, Laras adalah yang paling beruntung didunia, karena dia bisa libur dua hari dalam setiap minggu selama akhir pekan. Hari sabtu sore biasanya akan dihabiskan di Livi, sebuah cafe, restoran dan taman yang juga merangkap perpustakaan. Livi sangat luas dibanding cafe biasa, dengan property kayu yang kebanyakan berwarna coklat gelap dan hitam untuk restoran dan Cafe mereka. Dan taman ramah lingkungan untuk segala usia, bahkan anak-anak. Banyak pohon rindang, bangku taman, area bermain anak dan set meja dan kursi berserta payung-payung besar berwarna putih bersih, untuk pelanggan yang ingin makan diluar ruangan.

Laras dan genk-nya biasa menghabiskan waktu dilantai atas dimana perpustakaan berada. Mereka bisa makan sambil baca dan beli buku disini. Lantai atas biasa disebut sebagai rumah, karena memang sangat nyaman. Jika di cafe dan restoran yang berada dibawah property di dominasi oleh perabot kayu gelap, maka di Livi Library terdapat banyak sofa lengkap dengan bantal dengan warna-warna muda.

Tata letak Livi Library pun cukup unik, membentuk lingkaran dan perpustakaan di tengah menjadi pusatnya. Hingga pengunjung dapat duduk di sofa yang mengarah langsung ke jalan raya atau kebun teh. Dan Livi Library dikelilingi langsung oleh balkon yang melingkar dengan pintu terbuka hingga pemandangan dan sejuknya udara dapat dinikmati dengan baik.

Laras juga memiliki genk paling beruntung di dunia, karena Livi adalah milik teman satu genk-nya Via, Olivia Charles. Hingga Laras bisa duduk dimanapun dia mau. Tapi kali ini Gilang dan Renata datang lebih dulu. Mereka sudah duduk manis disofa berwarna Pink pucat dengan bantal-bantal berwarna merah. 

Renata tampak cantik dan lembut, kulitnya yang seputih susu dibalut dengan rok berwarna pink yang senada dengan Sofa dan Blouse berwarna putih. Heel berwarna nude pink dan tas tangan yang mentereng di atas meja berwarna putih, sementara rambut pirang panjangnya ditata menjadi bergelombang.

Sementara Laras, rambutnya setengah basah masih tergerai. Jeans yang warnanya sudah kusam, kaos berwarna putih ditutup dengan coat coklat gelap yang panjangnya hampir selutut, dan sneakers adidas berwarna putih. Percayalah, hanya Laras yang terihat keren dengan pakaian seperti yang Ia kenakan diatas karena tubuhnya tinggi dan kurus hingga bagus mengenakan apapun. Yuna tidak salah jika mengatakan Laras cocok menjadi model. Dia bahkan memiliki aura itu, seorang model, Via juga bilang begitu. Dan wajahnya meski hanya menggunakan bedak tabur, namun terlihat berwarna karena bola matanya yang kadang kehijauan dan kadang kebiruan.

Renata adalah yang paling rapi diantara yang lain, bahkan mengalahkan Via yang penata busana. Karena selera busana Via anti-mainstream jadi kadang di anggap aneh. Sedangkan Renata, dia selalu normal dalam berpakaian. Renata selalu cantik dimanapun, bahkan saat dia basah oleh keringat saat sedang menari. Teman-temannya selalu bilang, Renata sudah cantik sejak lahir.

Meskipun sudah bertahun-tahun melihat Renata, Laras masih belum terbiasa oleh penampilan Renata, dan dia akan dengan jujur mengatakannya.

Laras sampai dan duduk di sofa yang berseberangan dengan Renata, dia duduk di sebelah Gilang. Dia menggelengkan kepalanya saat meliat Renata, sedangkan Renata dan Gilang melihat kearahnya.

"Aku masih belum terbiasa dengan kecantikan renata" Ucap Laras kemudian menoleh ke arah Gilang, meminta persetujuan. 

Gilang mengenakan kaos berwarna biru muda dan Sneakers berwarna biru gelap. Gilang memiliki rambut yang bagus, jadi tanpa harus melakukan ini-itu, rambutnya sudah siap  bergaya setiap saat.

"Ya kalau dilihat dari luarnya" Jawab Gilang, melirik malas dan melihat game di handphonenya lagi, "Kalau sudah kenal dia seminggu aja, hilang kesan pertamanya" lanjutnya.

Laras tertawa, tapi Renata tidak terima, "Kalau perempuan aja bilang cantik, berarti emang cantik",

"Orang buta juga tahu kalau kamu itu cantik" Jawab Gilang acuh tak acuh, tak berpaling dari game-nya. Sementara Laras menyandarkan bahunya ke kursi.

"Coba deh liatnya kesini", ucap Renata, "Kalau aku cantik coba bilang sambil lihat kesini", tantang Renata.

Gilang yang tadinya hanya menarik alis, melihat Renata yang fokus padanya, membuatnya mematikan handphone nya. Dan menatap Renata langsung dengan serius.

"Kamu cantik"

 Ucap Gilang, pelan dan tegas. Hening, untuk satu... dua... dan Renata malu sendiri dia menutup wajah dengan tangannya, sambil meracau mengatakan dia malu. Begitu juga Laras yang menonton mereka, ikut malu. 

Mereka mungkin sudah terbiasa bersama dalam waktu kurang dari tiga tahun, tapi untuk begitu jujur dan menatap satu sama lain dengan penuh perasaan itu adalah hal langka. Itu membuat Laras jadi masih senyam-senyum sendiri. 

Gilang juga terlihat malu, tapi dia bisa mengontrol dirinya, dia masih melihat reaksi Renata, meski tidak se-intens tadi.

"Kalian manis banget..." Ucap Laras masih dengan derai tawa, "Pacaran gih," lanjutnya. Reaksi Gilang dan Renata justru semakin salah tingkah karena kalimat Laras.

"Siapa yang pacaran?"

Tanya sebuah suara kemudian, membuat ketiganya menoleh bersamaan. Via datang bersama Randi.

"Siapa yang mau pacaran sama Gilang?" Ledek Via, dia meletakkan tas tangan berwarna hitam miliknya di atas meja dan duduk di samping Laras. Sementara Randi duduk di samping Renata.

"Aku gak yakin Gilang butuh pacar" Lanjut Via, dia terkesan manis dengan dress dan heels berwarna hitam dan Randi mengenakan kemeja berwarna putih, jeans dan Loafers, Randi terlihat sangat dewasa.

Tapi Gilang maupun Renata masih beku. Randi meoleh melihat wajah Renata dengan tatapan menyelidik, "Kok wajahmu merah?" Tanya Randi, Gilang yang tahu apa yang akan Randi katakan memilih menyandarkan bahu di sofa dan menutup wajahnya dengan bantal.

Dan benar saja apa yang dipikirkan Gilang karena Randi mulai menggoda, "Kamu naksir Gilang beneran ya?" 

Renata menatap Randi tidak terima, dia melotot dan memukuli bahu Randi. 

"Gak sopan nanya begitu sama perempuan!"

Tapi Via dan Laras  justru gagal paham dengan kalimat yang di lontarkan Renata,

"Cantik sih, cuma rada aneh" Ucap Laras saat dia bertatapan dengan Via, bingung.

Candaan mereka terus berlanjut, dan saat Doddi mengabarkan jika Ia tak bisa datang karena ada latihan, mereka kemudian memesan makan malam.

Malam minggu hanya dihabiskan untuk berkumpul seperti ini, setiap minggu. Meski kadang, Renata protes karena sudah muak tetap ditempat yang sama, hingga kadang mereka berkumpul ditempat lain. Atau saat mereka memiliki cukup banyak waktu, mereka akan berlibur ke luar kota.

Mereka mungkin anak-anak paling beruntung di dunia karena memiliki fasilitas dan dapat menjalani hidup seperti yang mereka inginkan. Mereka adalah orang-orang terbaik, meski terlihat tidak serius, mereka tak pernah mengabaikan tugas atau latihan. 

Mereka sadar betul, jika mimpi seperti sebuah istana yang harus dibangun. Dan kemampuan atau bakat adalah bukan sesuatu yang bisa dibelikan orangtua mereka, atau diwariskan langsung hingga mereka mahir, mereka tetap harus belajar lebih dulu. 

Meski Randi dan Laras berbeda, seakan tak punya mimpi. Tapi percayalah, mereka punya mimpi. Karena bahkan mimpi yang sederhanapun kadang menjadi lebih sulit untuk diwujudkan.

_____________________________________________

NEXT : MOONLIGHT Eps.5 >> << PREVIOUS : MOONLIGHT Eps.3

______________________________________________


Judul : MOONLIGHT
Oleh : XXXRERAIN
Keterangan : Cerbung
Ganre : Fantasy, Romance,

Update : Sabtu

Comments

Popular Posts