[Cerita] Aku Mencintaimu Karena Diam (Maret)



@hireiniy
  

Aku Mencintaimu Karena Diam 
(Maret)

Lepas rasanya jantung ini saat mendengarnya mengucapkan kalimat itu. Aku menautkan alisku, masih termangu dihadapan orang banyak. Rasa laparku mendadak hilang, "Apa katamu? aku tidak mendengar" ucapku. Aku yakin aku salah dengar. Tanpa menunggu jawabannya aku ngeloyor pergi, aku kembali teringat sedang lapar.

Tapi dia mencegatku lagi, kali ini kalimatnya lebih jelas dan tegas, "Aku suka kamu". Aku kembali terheran-heran, aku menatap jauh keluar kantin, cuacanya cerah tapi kenapa anak lelaki ini menjadi aneh?. "Hei" ucapnya lagi. Aku hanya mendongak, "hah?"

"Aku suka kamu", ulangnya . Akhirnya aku yakin apa yang dia ucapkan dan yang kudengar itu sama, "ngarang", jawabku kembali ngeloyor pergi. Kali ini dia tidak mencegatku, tapi terus membuntuti aku, mulai dari membeli makanan dan minuman hingga aku duduk untuk makan.

Aku belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi, jadi kubiarkan saja dia membuntuti aku seperti itu dan kemudian dia duduk di depanku.

Aku mulai mengerenyitkan alisku saat teman-teman yang biasa duduk makan siang denganku tidak ada. Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan mereka bertiga berada di meja lain, menontonku. Seperti orang lain menontonku.

Aku memanggil mereka setengah berteriak, tapi mereka hanya memberikan gesture, jika mereka tidak mau duduk di sini karena ada dia di depanku.

"Bisakah kamu pergi? teman-temanku jadi tidak mau duduk di sini" ucapku kepadanya, "Kau biasanya juga bersama teman-temanmu", imbuhku.

"Tidak hari ini", jawabnya dengan senyum tersembunyi dan raut wajah penuh percaya diri, memangnya kapan aku lihat dia gugup?, pikirku.

"Apa kau dengar apa yang ku ucapkan?" tanyanya saat aku mulai menyuap makan siangku, aku hanya mengangguk. Aku lapar. Biarkan jika teman-temanku tidak duduk denganku hari ini.

"Apa kau mengerti?" tanyanya lagi. Dan itu pointnya, aku tidak mengerti. Aku meletakkan sendokku. "Itu... aku tidak mengerti", ucapku padanya.

Dia tertawa kecil, manis sekali. "Aku menyukaimu, apa yang tidak kau mengerti?"

Seluruh kantin menonton kami, tapi dia tidak peduli. Setiap dia mengatakan kalimat suka, maka orang-orang di sekitar mulai bersorak menggoda. Membuatku semakin gugup.

"Aku rasa, teman-temanku juga menyukaiku. Mereka tidak membenciku kan?", Jawabku polos. Aku berusaha memutar-mutar hal ini terus menerus karena tidak percaya jika dia menyukaiku karena cinta.

"Aku mencintaimu, apa kau mengerti sekarang?" ucapnya serius. Sontak seisi kantin mulai bersorak lebih ramai lagi. Aku diam sejenak tetapi dalam hatiku menjerit. Buru-buru ku ambil air minumku dan menenggaknya meski tidak haus.

"Gak mungkin", ucapku kemudian meluncur begitu saja. Dia tertawa, "Kenapa gak mungkin?"

"Ya gak mungkin aja", ya ampun, aku sekarang sudah tidak lapar lagi. Bagaimana mungkin anak lelaki paling dicari di sekolah ini mengatakan hal ini untukku. Sangat tidak mungkin.

"Coba jelaskan, kenapa menurut mu aku tidak mungkin mencintaimu?"

Aku berfikir sejenak, "Karena kau membuat semua cewek menjerit, dan ingin jadi pacarmu? ", Aku menjawabnya dengan tidak yakin. Ah, aku benar-benar membuat makananku terbuang percuma.

Dia tertawa mendengar jawabanku, "Lalu apa hubungannya dengan aku mencintaimu?"

Aku menghela nafas, "Garis besarnya, kau disukai oleh banyak gadis di sekolah, yang lebih pintar, dan lebih cantik dariku, jadi tidak mungkin kau mencintaiku", Aku menekankan suaraku pada kalimat pintar dan cantik. Tapi dia lagi-lagi hanya tertawa. Bagaimana bisa dia membuat hatiku begitu gugup tapi dia setenang itu?

"Mereka lebih cantik dan pintar, itu kan semua katamu. Aku tidak pernah bilang begitu"

Aku mendengarkannya lalu mengumpat dalam hati, "Sial, dia benar", aku memang belum pernah mendengar jika dia mengatakan gadis lain lebih pintar dan cantik dariku.

"Lagipula, apa gunanya mereka cantik dan pintar untukku? karena tetap kau yang istimewa bagiku",

Mendengar kalimat itu meluncur indah dari bibirnya, sontak aku mengerang dan menutup wajah malu. kalimatnya barusan tidak hanya membuatku salah tingkah, tapi orang-orang di sekitar juga ikut menggila. Mereka mulai bersorak-sorai meneriakkan agar aku menerimanya. Hal itu membuatku semakin malu dan tertekan.

Sementara aku mencoba menguasai diriku yang histeris ini, dia justru tersenyum dan tidak sedikitpun memalingkan matanya dariku. Oke, aku menenggak minumanku lagi dan menarik nafas panjang.

"Jadi apa kau sudah mengerti?" tanyanya. Aku mengangguk, "Aku cukup mengerti", jawabku dengan suara bergetar rasanya ingin meledak. Ia lagi-lagi tertawa dan memberikan senyumannya yang berharga itu. Aku tidak ingat apa dia pernah tersenyum seperti ini denganku sebelumnya.

Dan bell masuk kelas berbunyi, orang-orang mulai mengeluh karena belum selesai menonton kami. Beberapa dari mereka masih saja meneriakkan saran mereka untukku agar aku mau menerimanya.

"Masuklah", ucapnya lembut saat melihat ketiga temanku dengan ragu-ragu beranjak meninggalkan kantin. Aku yang ikut menoleh ke arah merekapun akhirnya berdiri. "Nanti pulang, aku tunggu  didepan kelas", imbuhnya.

Aku melongo dan menggeleng, tapi belum sempat mengatakan apapun dia melambaikan tangan kanannya, "Sampai jumpa pulang sekolah".

***

Hari itu seperti yang dijanjikannya, dia menungguku didepan kelas. Membuat orang-orang disekitar ku kembali ramai dan teman-temanku kembali meninggalkan aku.

Dia mengantarkan aku sampai kerumah. Dia mulai bercerita tentang dirinya dan keluarganya, ceritanya kadang membuatku tertawa. Hingga membuatku lupa tentang apa yang Ia katakan di kantin. Hari itu Ia mengantarkan aku sampai kerumah, lalu dia berkata lagi sebelum pergi, "Aku benar-benar mencintaimu", ucapnya pelan, "Seandainya kau masih tidak percaya", sambungnya, kali ini diiringi senyuman. Lalu dia pamit pulang.

Hari-hari itu terus berjalan, dengan dia yang selalu ada disisiku. Hari-hari berikutnya aku sudah terbiasa dengan keberadaan nya dan mulai mencarinya jika Ia tidak ada.

Hari-hari selanjutnya, dia mulai mengenal keluargaku dan akrab dengan mereka, dia juga membawaku kerumahnya dan mengenalkan aku pada keluarganya.

Lalu hari-hari terus berlalu hingga tidak terasa aku sudah bersamanya selama satu tahun lebih. Semuanya mengalir begitu saja, dia tidak pernah memintaku mengatakan perasaanku tidak juga memintaku menjadi pacarnya.

Tapi dalam lingkaran ini, lingkaran yang tidak terkatakan ini. Ada ikatan yang lebih kuat dari semua kalimat itu. Aku tidak pernah melihat kearah lain lagi, tidak juga dia memalingkan pandangannya. Semuanya begitu sederhana dan menyenangkan.

***

Hingga akhirnya kami lulus. Masalah kadang datang satu persatu, saat jarak kami tidak sedekat dulu. Kesibukan mulai menjadi batas diantara kita, tapi kami menikmatinya, sadar betul jika tidak ada sesuatu yang bertahan sempurna. Tapi aku tidak menyerah, dia juga tidak menyerah.

Bagaimana mungkin aku menyerah dengannya, dia adalah hadiah paling berharga yang ada dalam hidupku setelah orangtuaku. Dulu, aku membayangkannya saja tidak berani, tapi entah dari mana dia datang lalu memberiku sebagian hidupnya dan mempercayakannya padaku.

Hingga hari yang penting itu datang, setelah bertahun-tahun kami berjalan bersama.

"Hei, kali ini aku akan mengatakan hal yang penting", ucapnya, disela makan kami sore ini. Yang entah termasuk makan siang atau makan malam. Aku hanya mengangguk. Ku tatap matanya, baru kali ini selama hampir enam tahun ku lihat dia gugup.

"Kau gugup?" tanyaku. Tapi dia hanya mendesis menyuruhku diam. "Oke" jawabku singkat. Aku ikut mengabaikan makananku.

"Aku mungkin bisa bersamamu selama ini, tanpa menanyakan 'perasaanmu' , tanpa bertanya 'maukah kamu', tapi kali ini aku butuh persetujuanmu", ucapnya agak bergetar, membuatku sedikit khawatir. Tapi aku tidak ingin menyela ucapannya, aku hanya terus menatapnya dan membiarkannya menyelesaikan kalimatnya.

"Maukah kamu menikah denganku?",

Ah, sekali lagi .... setelah bertahun-tahun dia membuat hatiku bergetar, kini dia membuat hatiku meledak. Perasaan ku bahkan jauh lebih parah dibanding saat dia mengatakan cintanya padaku di kantin dulu.

Aku tidak tahu harus bagaimana, aku tertawa dan mengerang tidak percaya seperti biasa. Sambil terus merutuk di dalam hati, kenapa pria ini manis sekali.

"Seperti yang ku bilang, kau harus menjawab" desaknya, aku melihat perasaan campur aduk yang kurasakan juga ada dalam dirinya. Aku menarik nafas, "Aku mau", tentu saja aku mau!. Aku bersorak dalam hati.

Lalu ku lihat dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya dan menyadarkan tubuhnya di kursi, seakan beban di hatinya telah terangkat.

***

Maret, sekitar hampir 13 tahun lalu. semuanya masih terasa murni dan sederhana. Jika mengingar-ingat hari-hari pertama itu, rasanya maret ditahun itu adalah maret terbaik seumur hidupku.

Dia adalah anak lelaki kelas 2 SMA. Satu angkatan denganku tetapi beda kelas. Dia cukup terkenal karena dia nakal. Tapi selain itu, dia memang tampan dan cerdas. Meski ada yang lebih cerdas, tapi aku sepakat dengan siswi lain, jika tidak ada yang lebih tampan dibanding dia.

Dia bukan tipe anak teladan, tapi dia mudah bergaul. Dia dapat membawa diri di manapun. Dia anak yang berani dan jujur, termasuk untuk melakukan apa yang dia sukai, bahkan hingga saat ini.

Saat dulu aku masih sering bertanya, "Kenapa kau mencintaiku?", dia kemudian menjawab beberapa hal yang aneh, ngarang bahkan tidak jelas. Tapi ada satu jawabannya yang menurutku masuk diakal.

"Aku mencintaimu karena kau diam", jawabnya tenang.

"Maksudmu?",  aku kembali tidak mengerti,

"Kau diam. saat banyak anak perempuan jingkrak-jingkrak tidak karuan. Kau tersenyum saat anak perempuan tertawa lebar, kau berkata pelan saat anak perempuan memanggilku garang", 

Kalimat terakhirnya membuatku tertawa, aku tahu pasti bahwa anak perempuan memanggilnya antusias dan ingin mendapatkan perhatian darinya, tapi dia justru menyebutnya garang.

"Mungkin saja, aku tidak melakukan itu karena aku tidak cukup berani untuk melakukannya seperti mereka", aku mengajukan keberatan untuk diriku sendiri.

Lalu dia menatapku menyelidik, "Apa kau juga ingin mencari perhatianku seperti mereka?",

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku, "Ya, andai saja aku cukup berani", jawabku yakin.

Dia memang sangat menarik perhatian. Bohong, jika aku bilang tidak. Tapi bahkan untuk membayangkannya saja aku tidak berani, dia terlalu indah dan sempurna bagiku, mungkin juga bagi orang lain.

"Kalau begitu, terimakasih karena kau tidak cukup berani", ucapnya manis.

"Kau tidak keberatan?", tanyaku,

Dia menggeleng, "Tidak. Karena kau penakut jadi aku bisa menemukanmu, karena kau tidak mencolok, aku bisa membedakan mu. Kau tidak kalah pintar dan cantik seperti mereka, jadi percayalah padaku",  jawabnya ringan dan tegas, sangat dirinya sekali.

"Lagipula, Aku sudah mencintaimu. Kau mau apa?", Ucapnya seolah menantangku. Ah, pria ini manis sekali.

Lalu Maret 6 tahun kemudian, juga maret paling penting yang kami miliki bersama. Dan setelah itu, maret-maret yang lain terus datang. Tidak ada rasa syukur yang lebih besar dalam diriku, selain mendapatkan kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan pria yang paling aku cintai dengan waktu yang lama. Aku selalu menghargai setiap harinya, seperti apa yang selalu Ia ajarkan padaku untuk bersyukur tentang waktu.

***

Dan maret malam ini, adalah yang ke 13 tahun berikutnya sejak pertama kali aku pura-pura tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku kembali mendapatkan maret yang istimewa dari begitu banyak hal yang istimewa.

"Terimakasih telah memberiku cinta, anak-anak dan hidup yang bermakna", ucapku saat kembali kami menghabiskan waktu dimeja makan.

"Apa aku sudah mengatakannya? Jika aku mencintaimu?", ucapku lagi, kalimat ini selalu ku tanyakan padanya sejak kami menikah. Aku ingin dia tahu, aku juga mencintainya, mencintainya sejak lama. Mencintainya bahkan sejak aku belum berani mengatakannya.

Dia mengangguk dan tersenyum, senyumannya masih manis seperti biasa. "Kau sudah mengatakannya, tapi lebih baik kau katakan lagi", itu juga masih jawaban yang sama.

"Aku mencintaimu"
Dia tersenyum manis sekali, "Aku tahu. Bahkan meski kau tidak mengatakannya, aku tahu", godanya, "Aku juga mencintaimu. Terimakasih telah memberikan hidupmu untuk kami dan membuat kami bahagia", dia menyebut kami untuk dia dan anak-anak. Dua anak lelaki dan satu anak perempuan yang menjadi bagian dari kami yang berharga.

Aku ataupun dia mungkin tidak bisa menghindari rasa sesal dalam diri kami saat kami tidak lagi memiliki waktu. Meski banyak hal masih ingin dilakukan, tapi sesungguhnya manusia terhalang oleh waktu. Dan kadang lupa, waktu mengalir begitu saja.

Dia mengajarkanku untuk setiap hari menghargai waktu kami dan membuatnya berharga. Untuk mengurangi rasa sesal kami yang mungkin ada dikemudian hari.

Hingga saat ini, tidak akan bisa terhitung lagi rasa cinta dalam hatiku yang terus menerus dipupuk olehnya.

Oleh dia, anak lelaki kelas dua SMA yang mengatakan jika dia mencintaiku begitu saja.

Comments

Popular Posts