[Cerita] - “Part Ways”




“Mari kita berpisah”

Aku terpaku saat kalimat itu meluncur mulus dari mulutnya seolah tanpa keraguan. Aku tahu pasti apa maksudnya, tapi entah kenapa aku begitu sulit untuk mencernanya. Seakan kepalaku menjadi kacau, blank, untuk sekian detik.

Aku masih belum mampu menjawab. Kesunyian diantara kita, seolah semua hal seketika berhenti disekitarku. Seperti sebuah samsak terlempar tepat di dadaku hingga membuatku begitu sesak.

Aku mengumpulkan semua pikiranku yang sesaat hanyut, seakan terseret oleh ombak besar yang datang tiba-tiba. Aku bukan tidak memikirkannya. Aku sudah tahu, hari ini pasti datang. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Aku mendecih mengasihani diriku sendiri. Seakan perasangkaku yang biasanya tajam, kian hari kian tumpul.

“Sepertinya kau sudah memikirkannya dengan baik”, ucapku jelas dan sarkas. Aku tidak tahu kenapa aku kesal. Aku merasa satu langkah dibelakangnya. Tapi aku juga tahu, aku tidak perlu merasa kesal seperti ini.

Orang ini, adalah orang yang telah kupercaya selama beberapa tahun terakhir. Tidak satupun keputusannya salah. Aku tidak perlu meragukan apapun. Selain, ini adalah haknya meminta untuk berhenti dan mengakhiri.

Memikirkan hak dan suara, aku juga memiliki hak atas hubungan ini. Mengingat, hubungan ini tak akan berhasil tanpa kerja sama dan persetujuan kita berdua. Tapi aku bahkan tidak tahu, apa yang ingin aku suarakan, apa yang ingin aku tuntut. Apa yang aku harapkan dari orang dihadapanku ini?.

Lama. Sebelum akhirnya diapun menjawab. “Aku tidak melihat kebaikan yang akan tersisa diantara kita. Kita berdua sudah sama-sama meninggalkan tempat untuk kita bergantung satu sama lain dan berjalan sendiri-sendiri untuk waktu yang cukup lama sekarang. Hubungan ini tidak menyisakan apapun selain kata, maka dari itu, mari kita akhiri dengan benar, agar ini tidak membebanimu atau membebaniku”.

Aku mendengar suara serak dalam setiap kata yang ia tuturkan. Aku mau tidak mau setuju dengan apa yang ia ucapkan. Bagaimana kita telah terus meninggalkan satu sama lain, terus menerus untuk hal lain. Hingga pada titik, hubungan ini bukan apa-apa selain tali yang mengekang, untuk kita berjalan lebih jauh atau tumbuh lebih besar. Tapi, apa tali hubungan ini akan kita putus begitu saja? Apa ini harga yang harus kita bayar untuk sebuah “kebebasan”?. Aku . . . tidak tahu.

Fakta bahwa aku tidak menemukan alasan apapun untuk aku katakan kepadanya untuk mempertahankan hubungan ini, adalah bukti bahwa kita sudah lama berjalan sendiri-sendiri hingga tidak ada apapun yang tersisa diantara kita selain tali yang mengekang bernama “hubungan”.

“Kau juga tidak tahu apa yang ingin kau katakan 'kan?”, ucapnya seolah juga telah menebak hal ini dari awal. Meski begitu, ada gurat kekecewaan dalam suaranya.

Aku tangkupkan tangan untuk menutupi wajahku dan kusandarkan tanganku di meja di hadapan kita berdua. “Aku tidak tahu”, ucapku lirih.

Dia yang berada di seberang meja mengusap kepalaku. “Tidak apa-apa. Mungkin setiap kita membutuhkan waktu. Agar kita menemukan titik balik. Apa pada akhirnya kita akan menyadari betapa berharganya kita untuk satu sama lain, atau justru . . . kita akan merasa lebih lapang dan nyaman setelah berpisah”.

Aku mengangkat kembali kepalaku, mencoba tertawa kecil dengan sinis. “Kalaupun kita akhirnya menyadari bagaimana kita sebenarnya begitu menyukai satu sama lain, apakah ada jaminan jika salah satu dari kita akan berada disini untuk menunggu atau kembali?”.

Dia tersentak, seketika tubuhnya terlihat kaku, tapi tidak mengatakan apapun. Kita berdua sama-sama tahu, jika kita berdua adalah orang-orang yang bebas dan independent, yang hampir tidak membutuhkan satu sama lain. Alih-alih menyadari perasaan kita, kita mungkin akan larut begitu saja dengan dunia kita, kebebasan kita.

Aku yang masih belum menemukan alasan apapun untuk menahannya, akhirnya menyerah. Dalam saat seperti ini, beberapa orang mungkin akan bertanya kepada diri mereka sendiri, “Seberapa besar kau mencintainya?”, tapi melihat tidak ada satupun dari kita yang ingin bertahan, sepertinya cinta memang sudah tidak ada diantara kita. Setidaknya, tidak cukup besar untuk kita pertahankan.

“Baiklah, ayo kita akhiri dengan benar”. Ucapku tegas. “Aku juga tidak ingin membebanimu”, aku berhenti sejenak meralat kalimatku, “Tidak, kita tidak ingin membebani satu sama lain. Jadi mari kita akhiri sekarang”, sambungku.

Kutatap Ia tepat di matanya. Dia hanya mengangguk. “Terimakasih banyak” ucapnya, dia mengambil jeda untuk menarik nafas panjang, “Terimakasih banyak telah menemaniku sejauh ini”, sambungnya. Aku hanya bisa mengangguk.

Entah kenapa, rasanya justru semakin sesak. Sangat sesak hingga aku tak bisa mengatakan apapun. Mataku mulai panas, seolah air mata tidak sabar untuk mendesak keluar. Tapi terus aku tahan. Aku tahu, mataku sudah merah sekarang.

“Pergilah . . . Aku tidak apa-apa”. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak tumpah. Tunggulah sebentar lagi, setidaknya hingga ia meninggalkan tempat ini. Aku tidak ingin ia melihatku menangis. Aku tidak ingin membebaninya dan membuatnya merasa bersalah.

Sekali lagi, dia mengusap kepalaku seraya ia berdiri dari kursinya. “Jaga dirimu baik-baik”. Ada jeda cukup lama, aku merasakan ia terus memandangiku meski aku tak dapat melihatnya karena aku terus menunduk. Sebelum akhirnya dia berbalik pergi, meninggalkan tempat ini.

Aku tahu, setiap langkah yang ia ambil meninggalkan tempat ini, sama dengan setiap langkah untuk meninggalkanku. Dan aku tahu, setelah dia memutuskan untuk pergi, maka dia tidak akan kembali. Bukan berarti aku ingin menahannya atau telah menemukan alasan untuk menahannya pergi.

Hingga akhirnya air mataku tumpah dengan sendirinya. Seketika, begitu banyak hal terus menerus berputar di kepalaku, tanpa aku mengerti. Dan air mata yang terus turun tanpa dapat aku cegah.

Aku tidak tahan lagi. Aku bangun dari tempat dudukku. Ku selipkan sejumlah uang untuk membayar minumanku diatas meja. Beberapa orang terlihat gelisah menatapku, tapi aku terus berjalan meninggalkan restoran ini.

Diluar, mataku yang merah dan basah kuusap. Sambil beberapa orang yang berpapasan mencuri pandang kecil melihatku. Aku harus berhenti menangis.


🍃

Aku menyusuri jalanan setapak sekitar pukul 06:15 sore, ketika lalu lalang orang-orang pulang beraktivitas ramai memenuhi jalan.
Dalam keramaian ini, aku termenung. Memperhatikan setiap deretan toko dan pagar-pagar, seolah aku akan melihat mereka untuk terakhir kali. Sesekali ku tarik nafas panjang, ketika berfikir betapa mungkin setiap jengkal tempat ini menjadi kenangan yang berarti.

Aku menghabiskan lebih dari 5 tahun di kota ini. Sejak aku masih anak SMA hingga sekarang aku hampir lulus perguruan tinggi. Aku memang tidak berasal dari kota ini, tetapi dalam waktu sekitar 5 tahun, aku seakan mengenali sudut-sudut kota tempat tinggalku sekarang. Karena begitu banyak waktu yang bermakna telah aku lalui disini. Dulu, aku merasa bangga, tapi entah kenapa kali ini aku merasa ngilu.

Langkahku terhenti, ketika aku berada didepan sebuah toko alat tulis. Dari begitu banyak toko atau bangunan yang terus dipugar seiring waktu, namun toko ini tak pernah berubah. Pemiliknya membiarkannya usang dengan warna cat putih yang memudar. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman dan hangat, meski bangunan toko itu berwarna pudar, yaitu kenangan. Sebagai seorang pelajar, tempat ini adalah salah satu tempat yang paling sering aku kunjungi dengan teman-temanku atau juga dengan dia.

Ah, aku bahkan ingat bagaimana kita menghabiskan waktu disini. Aku ingat raut wajah mereka, aku ingat canda tawa mereka, aku ingat hampir setiap percakapanku dengan mereka. Deretan kenangan yang berputar dalam kepalaku seperti film yang perlahan habis, mengecil dan hilang. Hanya menyisakan rasa sesak dan dingin.

Rasa sesak yang aneh terus menawan hatiku. Dan kenangan-kenangan juga hari-hari yang kita lalui terus berputar dalam kepalaku. Berapa banyak hari?. Sekitar 4 tahun. Aku tidak mampu menghitung berapa banyak jumlah hari yang kita lewati. Tapi ini adalah tahun ke empat dan terakhir aku bersamanya.

Bersamanya.
Kalimat itu terus berdengung dikepalaku.
Brengsek. Umpatku.

Aku bahkan masih ingat bagaimana aku berlari menghampirinya yang telah menungguku ditempat ini. Aku ingat, bagaimana perasaan nyaman dan ringan memenuhi hatiku setiap bertemu dengannya. Aku ingat cara bicaranya, aku ingat sikap ketusnya, aku ingat raut wajahnya saat Ia khawatir, aku ingat wangi tubuhnya, aku ingat bagaimana cara Ia terus menggenggam tanganku meski banyak orang tidak suka. Aku ingat. Aku ingat semuanya.

Aku tidak bisa. Air mataku kini tumpah lebih deras dan aku tersedu-sedu. Aku menunduk, perlahan-lahan sebelum akhirnya aku terjongkok di jalan, diantara orang-orang yang berlalu lalang. Aku menangis sedu sekali, terisak. Satu tanganku menopang kepalaku diatas lutut dengan wajah menghadap trotoar dibawahku. Satu tanganku yang lain mencengkram kerah bajuku, menahan dadaku yang terasa sangat sesak.

Jika aku tidak membutuhkannya, kenapa aku merasa kesulitan seperti ini? Jika aku tidak mencintainya, kenapa aku sesakit ini? Apa mungkin karena memang perpisahan, bagaimanapun caranya akan tetap terasa menyakitkan? Aku tidak tahu!. Aku tidak pernah tahu.

Aku hanya dapat terus menangis diiringi oleh angin sore yang dingin yang berhembus disekitarku, juga mata orang-orang lewat yang terus memperhatikan.

Kebebasan.
Ini jelas adalah harga yang mahal untuk dibayar. Aku kini dapat berjalan jauh sekali, bahkan terbang, tanpa ada lagi tali yang mengekang. Aku kini dapat tumbuh besar, menjadi raksasa sekalipun aku bisa, tanpa ada yang melarang. Tapi untuk apa? Untuk apa jika aku tidak memiliki tempat untuk aku merasa pulang.

Setiap perjalanan itu, setiap hal yang telah aku lalui, bermula dari mimpi kita. Bermula dari kebersamaan kita. Dia yang menemaniku, dia yang mengantarkan aku, menjagaku untuk berjalan menuju mimpi-mimpiku.

Setiap aku pergi, aku dapat menantikan waktu untuk aku pulang. Setiap aku jauh, aku memiliki seseorang yang bisa aku rindukan, yang juga akan merindukanku.

Tapi kali ini kosong. Kemana aku akan pergi setelah ini? Kemana aku akan bercerita setelah ini? Orang yang telah menjadi bagian dari diriku untuk beberapa tahun terakhir, memilih membalikan punggungnya dan meninggalkanku. Kenapa aku begitu lemah?. Aku bahkan tak dapat mengatakan apapun, selain bersikap bodoh dan melepaskannya seolah itu hal yang mudah.

Aku hanya terus tersedu ditengah jalan. Merasakan kehilangan yang mendarat tepat didalam dadaku. Kehilangan, yang begitu tololnya tak bisa aku cegah. Karena aku tidak ingin membebaninya? Atau aku terlalu pengecut, karena tidak mau aku berakhir mencintainya sendirian? Karena aku tidak mengakui betapa berartinya dia?.

Meski begitu, apapun yang aku rasakan terhadapnya. Aku tetap tidak akan bisa menahannya. Aku tidak bisa menahannya untuk disisiku dan menjadi egois tanpa memikirkan keinginannya. Fakta ia yang pertama mengucapkan kata untuk berpisah, ia pasti telah memikirkannya.

Aku masih belum berhenti tersedu. Ah, rasanya sakit dan sesak sekali. Aku tidak pernah tahu aku memiliki sebegini banyak air mata. Sementara waktu-waktu yang kita habiskan bersama, terus berputar dalam kepalaku.

Meski aku masih belum mengerti apa sebenarnya arti ikatan ini, tetapi apa aku sudah memperlakukannya dengan baik?, Apa aku sudah menunjukan cintaku dengan tepat? Apa aku sudah mengatakannya dengan jelas?, Aku menyukaimu. Ya, aku bahkan mungkin sangat menyukaimu. Apapun keputusanmu, jangan pernah lupa. Aku pernah menyukaimu sebesar itu.

Cerita & Gambar oleh @hireiny / @untuk_esok
Selesai pada Jum'at, 25 September 2020
PDF Version to read offline is available here.
Mohon hargai karya orang lain dengan mencantumkan sumber dan tidak menduplikat.

Comments

Popular Posts